Sabtu, 10 Januari 2009

Pendidikan Anak Perempuan Yang Terabaikan


SEKOLAH ALTERNATIF - Sejumlah anak perempuan yang tinggal di perkampungan kumuh Cengkareng, Jakarta Barat, mengikuti sekolah alternatif. Mereka merupakan anak korban kemiskinan yang tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah formal.

BADAN PBB yang menangani masalah anak di dunia, Unicef, dalam The State of The World Children Report 2004 (Laporan Situasi Anak Dunia 2004), mengingatkan, upaya pembangunan yang dilakukan negara-negara di dunia banyak mengabaikan anak perempuan. Jika langkah untuk menyekolahkan mereka tidak segera diambil dalam waktu dua tahun mendatang, upaya negara-negara di dunia untuk menekan kemiskinan tidak akan bisa tercapai.

Di Indonesia, dalam Laporan Departemen Pendidikan Nasional, terlihat jelas kondisi pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan, khususnya bagi anak perempuan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), atau mereka yang berasal dari keluarga miskin dan tinggal di pedesaan. Sebagai contoh, hanya separo anak pedesaan yang bersekolah. Sementara di perkotaan, anak yang bersekolah jumlahnya mencapai lebih dari 70 persen.

"Meskipun anak-anak di Indonesia yang duduk di bangku sekolah dasar (SD) berjumlah tinggi dan sesuai dengan angka rata-rata di kawasan Asia Timur dan Pasifik, jumlah anak laki-laki maupun perempuan yang mengikuti pendidikan lebih tinggi tidaklah besar," ujar Steve Allen, Kepala Perwakilan Unicef untuk Indonesia, saat berbicara dalam acara peluncuran Laporan Situasi Anak Dunia 2004 yang berlangsung di Jakarta, Selasa (30/12).

Ironisnya, angka partisipasi murni (APM) 93 persen di tingkat SD anjlok menjadi sedikit di atas 60 persen di SLTP. Data yang dihimpun Depdiknas juga memperlihatkan adanya perbedaan besar dalam jumlah anak laki-laki yang putus sekolah dibandingkan anak perempuan, di tingkat SD maupun SLTP. Kemungkinan anak perempuan putus sekolah jauh lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SLTP pun demikian halnya. Perbedaan jumlah yang putus sekolah antara murid laki-laki dan perempuan sedikit membesar di sekolah menengah umum (SMU), yaitu tujuh anak perempuan dibanding tiga anak laki-laki.

Steven Allen menjelaskan, perbedaan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam bidang pendidikan terlihat dalam angka masyarakat yang melek huruf di Indonesia. "Jumlah wanita yang buta aksara mencapai hampir 20 persen sedangkan laki-lakinya kurang dari 10 persen," ujarnya.

Ia berpendapat, kecil peluang Indonesia untuk bisa membuat angka kemiskinan, kematian anak, HIV/AIDS dan penyakit lain menurun tajam jika negara itu tidak mampu menegakkan hak semua anak perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pendidikan dasar secara layak.

"Meskipun pemerintah menyadari masalah ini dan berusaha mengatasinya, salah satu masalah besar dalam upaya menyediakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak khususnya anak perempuan, adalah sedikitnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk pendidikan. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, anggaran pendidikan merosot tajam, dari sekitar sembilan persen menjadi kurang dari tujuh persen dari anggaran nasional," ia memaparkan.

Anggaran Indonesia untuk pendidikan merupakan yang terendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Cina, Malaysia, Filipina dan Singapura, yang semuanya adalah pesaing utama Indonesia di bidang ekonomi. Negara-negara itu mengeluarkan dana lebih dari tiga kali lipat yang dikeluarkan Indonesia, sehingga wajar jika perkembangan ekonomi Indonesia pun berada jauh di bawah negara-negara pesaingnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan penelitian Unicef, ada beberapa hal yang membuat anak perempuan tidak dapat memperoleh pendidikan yang setara, yaitu buku pelajaran yang bias gender dan kuat kesan steoreotip gendernya masih banyak dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia.

Hasil analisis isi buku pelajaran yang digunakan di SD menunjukkan, ilustrasi di dalam buku pelajaran lebih banyak menonjolkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak laki-laki digambarkan lebih beragam dan kreatif perannya dibandingkan anak perempuan. Selain itu, laki-laki lebih banyak disebut di dalam buku dibandingkan perempuan.

Stereotip gender masih terus ada dan ini terefleksikan melalui cara siswa memilih spesialisasi di sekolah kejuruan dan universitas, yang tampak adanya semacam diskriminasi yang dilakukan secara sadar oleh anak perempuan maupun laki-laki. Ilmu sosial umumnya banyak diambil oleh siswa perempuan sedangkan bidang teknologi banyak dipelajari siswa laki-laki.

"Meskipun sudah ada kebijakan nasional untuk mengedepankan kesetaraan pria dan wanita, belum ada cukup banyak program yang dijalankan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan di bidang pendidikan dengan memberikan peluang dan mengikutsertakan anak-anak yang kurang beruntung, termasuk anak perempuan dari keluarga miskin dan termarginal," ia menambahkan.

Pernikahan dini, kata Steve Allen, menjadi salah satu persoalan penting yang ditemui di daerah-daerah tertentu di Indonesia, contohnya di Indramayu, Jawa Barat, karena hal itu akan membuat anak perempuan tidak bisa mengenyam pendidikan secara cukup.

"Lebih parah dari itu, data pemerintah pusat dan daerah berdasarkan jenis kelamin tidak memadai, sehingga sektor pendidikan kesulitan untuk menilai kemajuan di luar jumlah anak yang sekolah dan turut berpartisipasi dalam proses belajar. Data berdasarkan jenis kelamin kebanyakan dipakai untuk membuat laporan tentang komitmen Indonesia di dunia internasional, namun jarang dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun kebijakan dan perencanaan proyek," tuturnya. (E-5)