Rabu, 22 April 2009

KIPRAH PEREMPUAN DALAM PANGGUNG POLITIK


PENDAHULUAN

Latar Belakang
Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia?yang termasuk negara-negara berpenduduk terbesar di dunia setelah Bangladesh dan China?bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015. Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalam Undang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?
Di Indonesia, gerakan feminisme sudah merambah ke wilayah politik. Isu kesetaraan gender mulai merebak di Indonesia pada sekitar tahun 1990-an. Secara perlahan-lahan, gerakan feminisme menuntut kesetaraan kaum perempuan di Indonesia untuk mendapat hak-hak di bidang sosial dan budaya. Namun lambat laun, seiring dengan bergulirnya reformasi (1998), gerakan feminisme mulai merambah wilayah politik kekuasaan. Sebab, berdasarkan catatan sejarah bangsa Indonesia, peran kaum perempuan sangat minim di pentas politik. Padahal, jumlah kaum perempuan mendominasi kaum laki-laki di Indonesia. Wajar jika kemudian kaum perempuan menuntut kesetaraan di bidang politik (kekuasaan). (/www.menegpp.go.id)










PEREMPUAN DAN KEBEBASAN BERPOLITIK
Menurut Ramlan Subekti terdapat sekurang kurangnya lima pengertian tentang politik, yaitu sebagai berikut :
§ Usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kehidupan bersama
§ Segala hak yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan
§ Segala hak yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
§ Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum
§ Politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumebr yang dianggap penting
Sedangkan, kata perempuan sendiri mempunyai akar kata, yaitu “empu”, arti idealnya yakni seorang guru kehidupan. Tapi dalam realitasnya, banyak orang mengidentikkan kaum perempuan selalu dengan stereotip 3 M (macak/dandan, masak, dan manak/melahirkan), 3 ur (dapur, sumur, kasur), 5 ah yaitu, tunggu omah, olah-olah, momong bocah, asah-asah, mlumah (jaga rumah, memasak, mengasuh anak, mencuci, dan melayani suami). Kalau begitu adanya, bagaimana dengan pepatah lama, surga ada ditelapak kaki ibu?. Disini nyata adanya gender inequalities culture-budaya ketidakadilan gender yang sudah mentradisi.
Di lain matra, sebetulnya ada perbedaan mencolok antara kekuasaan lelaki dan perempuan. Kekuasaan pria itu power over, sifatnya merusak-menindas, sedangkan kekuasaan perempuan itu power to, membagi dan konstruktif. Idealnya, seorang perempuan mempunyai tempat dalam masyarakat, bukan selalu karena keperempuannya yang khas, tapi karena kepribadiannya sebagai seorang manusia dan warga masyarakat. Dan lebih penting lagi karena nilai dari tugas-tugas bermanfaat yang berhasil diseleseikannya.
Menurut Romo Mangun, esensi perempuan ada pada rahim dan sikap serta cita rasanya menghadapi suami, anak-anak dan kehidupannya. Kerahiman perempuan adalah salah satu lambang religiositas, karena rahim itu mengemban dan menumbuhkan benih kehidupan. Jelas bahwa kaum perempuan adalah roh pengemban kehidupan.

Perjuangan para aktivis feminisme di Indonesia bukannya tidak mendapat rintangan yang berarti. Dalam garis besarnya, tantangan yang dihadapi para aktivis feminisme di Indonesia berasal dari faktor eksternal dan internal. Faktor-faktor eksternal yang menjadi penghambat gerakan feminisme di Indonesia meliputi: pertama, dominasi budaya patriarkhi di Indonesia. Sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi. Padahal, untuk mengubah pola pikir yang bias gender butuh proses yang lama. Bahkan, menurut penulis, proses ini tidak akan cukup sampai melewati satu generasi.
Kedua, pemahaman agama yang bias gender. Khususnya umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Secara umum umat Islam di Indonesia menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi. Inilah yang sampai saat ini menjadi perdebatan di kalangan cendekiawan Muslim. Sebab, sejarah kelahiran agama Islam memang mengambil setting historis dan budaya gurun pasir yang sangat kuat berpegang pada sistem sosial dan budaya patriarkhi (Arab). Jika memahami kitab suci Al-Qur?an tanpa metodologi dan pemahaman sistem sosial, budaya, dan politik yang memadai, maka kecenderungan untuk mereduksi pesan-pesan wahyu secara keliru semakin besar. Sebab, secara tekstual, pesan-pesan dalam kitab suci jelas lebih menempatkan dominasi kaum laki-laki. Tetapi, secara kontekstual, ajaran-ajaran Islam menempatkan kaum perempuan dalam posisi setara dengan kaum laki-laki.
Ketiga, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung kaum perempuan. Pasca reformasi, iklim kebebasan berekspresi di negeri ini mendapat jaminan penuh dalam system pemerintahan demokratis. Tetapi sayang jabatan-jabatan politik lebih banyak diisi oleh kaum laki-laki. Hal inilah yang kemudian mendorong para aktivis feminisme untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya.
Tampaknya, perjuangan ini membuahkan hasil ketika undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia. Undang-undang yang menjamin keterlibatan kaum perempuan di pentas politik sudah disahkan, tetapi tantangan berat masih menghambat gerakan feminisme di Indonesia. Menurut para aktivis feminisme, UU No. 12 Tahun 2003 merupakan kebijakan setengah hati. Sebab, budaya patriarkhi masih kuat mengganjal laju gerakan feminisme untuk mewujudkan keadilan di bidang politik bagi kaum perempuan. Di samping itu, pola pikir umat Islam masih belum bisa menerima sepak-terjang kaum perempuan di pentas politik.
Selain faktor eksternal yang menghambat gerakan feminisme di Indonesia, faktor internal juga menjadi catatan tersendiri. Sampai saat ini, kaum perempuan di Indonesia belum sadar terhadap hak-hak politik mereka. Masih terdapat stigma bahwa politik itu kotor sehingga kaum perempuan enggan memasukinya. Di samping itu, mereka juga masih menganggap perempuan tidak layak berkecimpung di dunia politik. Dalam konteks ini, gerakan feminisme di Indonesia masih harus melakukan pendampingan, advokasi, dan proses pendidikan politik agar kaum perempuan sadar akan hak-haknya.
Kebebasan memang seringkali tidak terpisah dengan emansipasi perempuan. Seorang feminis kelahiran Calcutta India, Gayatri Spivak, melontarkan sebuah pertanyaan kritis, apakah kaum perempuan dapat berbicara juga dalam wacana kebebasan?dari pertanyaan ini , kita bisa memahami sebuah pernyataan bahwa kaum perempuan sering mengkritik sejarah dominan, yang terfokus pada peranan laki-laki. Kata kebebasan memang seringkali muncul pada surat-surat Kartini yang menyatakan hubungannya dengan emansipasi, khusunya berkenaan dengan posisi perempuan bumiputera.
Kartini sangat menentang diskriminasi terhadap perempuan, suratnya tertanggal 23 Agustus 1900, mempermasalahkan hal ini, “… yang pertama dan utama, aku menghapus adat kebiasaan buruk yang memihak anak laki-laki daripada anak perempuan. Kita tidak seharusnya terkejut akan sifat laki-laki yang memikirkan diri sendiri saat kita menyadari bagaimana, sejak kecil dia sudah dimenangkan dari perempuan, adiknya…”. Dari hal ini sedikit dapat diperoleh kejelasan bahwa the power of man (kekuasaan laki-laki) secara tidak langsung telah dikenalkan melalui pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Kaum laki-laki secara tidak disadari lebih dikenalkan keluarga dengan permainan yang bersifat keras dan pendekatan-pendekatan yang mengarah pada publik, seperti bermain tembak menembak dan hal-hal yang seringkali mengarah pada adu fisik. Sedangkan kaum perempuan yang didentitaskan dengan kelembutan memang sudah dicap sebagai makhluk yang harus dilindungi dan tidak diperkenankan berhubungan dengan hal-hal yang berbau kelaki-lakian.
Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Perempuan untuk tugas-tugas itu tidak dibedakan dari laki-laki. Tuhan memberikan kepada mereka laki-laki dan perempuan, potensi-potensi dan “al-ahliyah” atau kemampuan-kemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci menegaskan keharusan saling kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas keagamaan, menyerukan kebaikan dan menghapuskan kerusakan sosial.
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran politik domestik maupun publik bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri nabi lain adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkhis.
Kita dapat mendefinisikan konsep partisipasi politik sebagai suatu kehendak individu untuk bertindak sedemikian rupa dalam rangka meraih, baik secara individual maupun kolektif, kekuasaan untuk memerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara legislative dan administrative. Mereka yang terlibat partisipasi politik mampu memberikan persetujuan atau kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Sejauh hukum syariat tidak mengingkari peran perempuan dalam masyarakat dan mendelegasikan mereka posisi yang netral dan sejauh al-Qur`an dan Sunnah menyuarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik. Perempuan bebas mengekspresikan pandangannya dan memberikan persetujuan atau kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah.



Dimensi-dimensi Partisipasi Sosial-Politik Perempuan
§ Menentukan Masa Depan Bangsa
Kaum perempuan memiliki peran yang luas dalam semua aktifitas politik. Meskipun begitu, kita masih menemukan sebuah pendirian, yang dipegang banyak kalangan ahli fiqih yang melarang perempuan terlibat dalam jenis aktivitas yang baik ini, serta membatasi peran perempuan hanya dalam lingkup keluarga dan pendidikan anak.
§ Partisipasi dalam Pemerintahan
Kita perlu mengingat lagi tentang kemenangan revolusi Islam-Iran, meskipun ditengah ketiadaan sebuah majelis publik yang diakui pada tempat dan waktu kemenangan tersebut, namun bisa menciptakan aktivitas-aktivitas partsipasi politik yang dimotivasi dari dalam. Diantara yang paling dikenal adalah mereka yang aktif dalam badan-badan perwakilan dan organisasi –organisassi local non-pemerintahan.
§ Keterlibatan dalam Pengawasan Sosial
Dalam pandangan Imam Khomeini, kesalehan suatu masyarakatsangat bergantung pada kebaikan atau kerusakan kaum perempuan. Landasan pembangunan social didasarkan atas ststus kaum perempuan, dan pembangunan sosial, dengan sendirinya berada ditangan mereka.perempuan dapat dipandang sebagai pemimpin-pemimpin yang sah dari masyarakat dalam setiap komunitas.
Berdasarkan sudut pandang Imam Khomeini, tanggungjawab pendidikan masyarakat tersembunyi dalam genggaman tangan kaum perempuan, baik di ranah kebudayaan maupun perubahan sosial.

Reduksi Partisipasi Politik Kaum Perempuan
Dalam perjalanan sejarah politik kaum perempuan yang berpartisipasi terhadap politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan-pembatasan ini bukan hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial. Secara umum alasan yang digunakan bagi peminggiran sekaligus pemingitan perempuan ini adalah bahwa pada umumnya kaum perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan kehadiran mereka ditempat umum dipandang sebagai sumber godaan (dalam bahasa Arab, sering disebut “fitnah”), memotivasi dan menstimulasi konflik sosial.
Masalah Kuota Perempuan
Sedikitnya jumlah perempuan yang terjun dalam kancah politik melahirkan ide kuota perempuan. Berdasarkan hal ini maka para aktivis perempuan menjadikan perjuangan politik mereka terfokus pada tiga hal yaitu, seputar kepemimpinan wanita dalam kekuasaan, tuntutan kuota perempuan dalam parlemen, dan tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu. Dari tiga isu ini menurut logika mereka besarnya akses ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi inilah yang akan menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat kea rah yang lebih equal dan egaliter. Dalam keadaan struktur masyarakat yang demikian, aspirasi perempuan dipastikan akan mewarnai setiap kebijakan publik dan menjadi solusi atas permasalahan krusial yang dihadapi perempuan.
Masalah kuota ini melahirkan pro dan kontra, kalangan yang pro berpendapat bahwa kuota akan berpihak pada perempuan, menghilangkan hambatan yang mencegah perempuan terlibat dalam posisi politik dan anggapan yang berpengalaman dalam menyelesaikan masalah perempuan adalah perempuan itu sendiri. Mereka juga menganggap perempuan dinilai rendah dalam sistem politik yang didominasi oleh kaum Adam. Sebaliknya kalangan yang kontra berpendapat bahwa kuota bertentangan dengan prinsip kesetaraan bagi semua, menuntut kuota berarti kurang yakin akan dirinya malah akan merendahkan harkat dan martabat perempuan karena dianggap kurang layak menduduki posisi kekuasaan.
Kuota perempuan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik yang memberi kebebasan berpendapat, kepemilikan, tingkah laku, beragama. Ini dimanfaatkan oleh kaum feminis untuk memberikan dorongan pada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya sebagai ibu pengurus rumah tangga yang tidak menghasilkan uang dan bergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga selalu menjadi obyek ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Untuk itu mereka meyerukan agar perempuan beramai-ramai terjun ke kancah publik demi memperjuangkan hak-haknya. Tapi pertanyaan yang muncul adalah relevankah penyelesaian permasalahan perempuan di segala aspek kehidupan akan terwujud dengan tercapainya kuota 30 persen perempuan di parlemen? Kalau kita telusuri lebih jauh bahwa permasalahan perempuan tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan lintas sektoral yang ada dalam sistem negara. Contohnya walaupun banyak perempuan yang duduk di kursi parlemen ternyata sampai saat ini bukan berarti masalah perempuan selesai tapi malah kondisi perempuan semakin terpuruk dengan semakin merebaknya pergaulan bebas, tingginya PSK yang notabene dominasi perempuan, runtuhnya struktur sosial dan keluarga, dilema wanita karir, anak-anak yang bermasalah dan sebagainya yang merupakan buah dari ide feminis ini. Inilah yang namanya menyelesaikan masalah dengan masalah. Sehingga kuota perempuan 30 persen bukan merupakan jaminan permasalahan perempuan yang kompleks akan terselesaikan dengan tuntas. Oleh karena itu masalahnya bukan terletak bahwa ini masalah perempuan tapi masalah perempuan adalah bagian kecil dari seluruh masalah yang saling terkait dengan aturan apa yang dipakai oleh negara itu untuk menyelesaikannya.
Kuota perempuan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik yang memberi kebebasan berpendapat, kepemilikan, tingkah laku, beragama. Ini dimanfaatkan oleh kaum feminis untuk memberikan dorongan pada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya sebagai ibu pengurus rumah tangga yang tidak menghasilkan uang dan bergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga selalu menjadi obyek ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Untuk itu mereka meyerukan agar perempuan beramai-ramai terjun ke kancah publik demi memperjuangkan hak-haknya.
Pandangan Islam terhadap Kiprah Politik Perempuan
Berkaitan dengan posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politik dalam system dan konsep Islam telah banyak pendapat diungkapkan. Ada yang berpendapat bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Ada yang berpendapat bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik perempuan kecuali menjadi pemimpin Negara. Ada yang memandang sama antara perempuan dan laki-laki. Meskipun banyak ulama yang berbeda pendapat akan politik perempuan yang berdasarkan atas asumsi masing-masing.
Sebagaimana pendapat yang tidak mengakui adalah berpacu pada hadits nabi, “tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan”. Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan umum apapun. Mereka merujukkan larangan ini pada emosi perempuan dan sifat-sifat kodratnya yang menjadikannya tidak mampu mengambil keputusan. Selai itu perempuan tidak memiliki kemauan yang teguh dalam masalah-masalah penting.
Adapun pihak yang berpendapat kiprah politik perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berargumen dengan firman Allah SWT : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan” (QS. An Nisa` : 34). Ayat ini ditafsirkan, bahwa kepemimpinan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah kepemimpinan suami untuk mendidik istrinya yang nusyuz. Hal ini dapat diketahui dari asbabun Nuzul ayat ini. Berkenaan dengan kasus istri Sa`ad bin al-Rabi yang tidak taat kepada susaminya. Lalu Sa`ad menamparnya. Maka istrinya mengadu pada Nabi Muhammad. Kemudian beliau memerintahkan agar ia menjauhi suaminya. Ayat tersebut turun karena sesbsb khusus yaitu berkenaan dengan masalah keluarga, dan tidak ada kaitan dengan keterlibatan perempuan dalam hak-hak politik.
Sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, Islam memiliki pandangan yang khas yang berbeda dengan demokrasi dalam menyelesaikan masalah perempuan termasuk kiprah politik perempuan dalam masyarakat. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki itu sama yaitu mempunyai akal, naluri dan kebutuhan fisik.
Dan Islam juga memandang bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memperbaiki masyarakat, walaupun secara kodrati ada kewajiban-kewajiban yang khas hanya untuk perempuan seperti mengandung, melahirkan, menyusui dan ada juga kewajiban utama bagi laki-laki yaitu mencari nafkah bagi keluarga.
Islam juga mengharuskan perempuan untuk memiliki kesadaran politik dan membolehkan perempuan berkiprah dalam politik tanpa melupakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tetapi yang harus dipahami adalah pengertian politik dalam Islam tidak terbatas hanya masalah kekuasaan dan legislasi tapi pengaturan seluruh urusan umat baik dalam dan luar negeri tanpa membedakan apakah itu masalah yang menimpa perempuan atau laki-laki melainkan dianggap sebagai masalah umat yang harus diselesaikan bersama. Hanya saja ada aturan dalam Islam yang tidak membolehkan perempuan duduk dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan) sesuai dengan Nabi SAW: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para wanita” (HR. Bukhari Muslim). Dari sini semakin jelas masalahnya bukan terletak pada terpenuhinya kuota perempuan 30 persen atau tidak tapi lebih kepada aturan siapa yang dijadikan pemecah permasalahan umat, apakah aturan manusia atau aturan yang menciptakan manusia.
Seruan Allah dalam hal aktivitas perempuan di dunia publik secara umum mempunyai implikasi pada hukum yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu manusia. Islam menetapkan hukum yang sama antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma`ruf nahi munkar), kewajiban menuntut ilmu, serta menunaikan kewajiban ibadah ritual. Demikian pula islam mengizinkan wanita melakukan jual-beli, sewa menyewa dan akad perwakilan. Wanita mempunyai hak memegang segala macam hak milik, dan baginya boleh mengembangkan hartanya dan mengatur secara langsung segala urusan kehidupannya.
Dari sekian banyak peran, tugas sekaligus aktivitas yang bisa atau perlua digeluti perempuan sebagai anggota masyarakat, tentunya pilihan seorang muslimah juga akan didasarkan semata-mata pada ketentuan syara`. Seperti halnya peran politik utama perempuan adalah melakukan proses perubahan menuju tegaknya sistem Islam.



Perempuan Indonesia Membangun Masa Depan
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD 1945. Terlepas masih ada sejuta persoalan diskriminasi terhadap perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah dicapai. Proses kemajuan bagi perempuanakan terus berlanjut.
Kita tengah menyaksikan gerak kaum perempuan Indonesia membangun masa depannya untuk sebuah masa depan bangsa yang lebih adil. Kehadiran perempuan secara lebih massif dalam panggung politik struktural diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan-kebijakan negara yang dapat memberdayakan kaumnya, menghapus kultur diskriminasi dan menghentikan kekerasan terhadap mereka yang masih terus berlangsung di ruang keluarga maupun social. Kemampuan perempuan dalam kerja-kerja politik tentu akan diuji oleh sejarah.

KESIMPULAN
Sebab-sebab dan struktur-struktur yang menjadi penyebab kurangnya partisipasi sosial politik kaum perempuan, baik pada skala makro dan mikro. Pada skala makro, mengenai kondisi social politik yang melumpuhkan motivasi berpartisipasi yang terbentuk dalam suatu cara sehingga masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif. Pada skala mikro, problem utamanya yaitu, kurangnya kepercayaan diri kaum perempuan sendiri terhadap kemampuannya. Dan alas an dibalik ketidakpercayaan ini terletak pada pendidikan mereka dalam lingkungan keluarga masing-masing.
Keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan sampai seinggi-tingginya telah melahirkan kemampuan (al-Ahliyah) mereka dalam segala urusan yang sebelumnya diklaim hanya menjadi milik laki-laki. Persepsi tendensius bahwa kaum perempuan kurang rasional, lebih emosional dan kurang kompeten menengani urusan domestic maupun public disbanding kaum laki-laki telah gugur dan tidak lagi popular. Perempuan-perempuan muncul dalam ruang-ruang sosial, politik, ekonomi dan budaya berdampingan secara sinergis dengan kaum laki-laki. Meski masih belum cukup proporsional (adil) tetapi cita-cita perempuan untuk memebangun masa depannya semakin terbuka lebar.
REFERENSI

Michael A.Riff , Kamus Ideologi Politik Modern, 1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ali Usman, Kebebasan dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama, 2006. Yogyakarta: Nuansa Aksara
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam.2004. Jakarta : Gema Insani Press
KH. Husein Muhammad. Islam agama ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren).2004.Yogyakarta: LKiS
Ali Hosein Al Hakim. Membela Perempuan, Menakar Feminisme dengan Nalar Agama. 2005. Jakarta: Al Huda. Penerjemah : AH. Sunolo Gembolo.
Ikhwan Fauzi. Perempuan dan Kekuasaan; Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender. Yogyakarta: Penerbit Amzah

Selasa, 21 April 2009

MASALAH-MASALAH INTERNAL PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

Makalah

MASALAH-MASALAH INTERNAL PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

ٍLaporan ini disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah

Sosiologi Pendidikan


Dosen Pengampu :

Rasmianto, M.Ag



Disusun oleh:

Khairul Anwar

06110119



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

DAFTAR ISI


PENDAHULUAN ………………………………………………………………… 1

  1. Latar Belakang ………………………………………………………………. 1

  2. Rumusan Masalah ………………………………………………………………. 1

  3. Tujuan Pembahasan ……………………………………………………………… 1


PEMBAHASAN ………………………………………………………………… 2

  1. Tantangan dan konflik Internal Pendidikan Islam di Indonesia ………………….. 2

  1. Menurunnya Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) ……………………….. 2

  2. Rendahnya Motivasi untuk Maju dan Berkembang Lebih Baik ………………. 3

  3. Kelemahan-kelemahan Pendidikan Islam yang tidak Segera diatasi ………….. 4

  4. Terbatasnya Daya Tampung dalam Pendidikan Islam ………………………. 6

  5. Belum Mampu untuk Bersaing dengan Lembaga Pendidikan Lain …………… 7

  1. Perubahan-perubahan yang perlu Dilakukan Pendidikan Islam ………………….. 11

  2. Analisis SWOT Pendidikan Islam ………………………………………………. 15


KESIMPULAN ………………………………………………………………… 17

DAFTAR PUSTAKA …................................................................................................ 18


PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pendidikan islam di Indonesia telah berlangsung sejak masuknya Islam ke Indonesia. Dimana peranan para pedagang dan mubaligh sangat besar andilnya dalam proses islamisasi di Indonesia. Salah satu jalur proses Islamisasi itu adalah pendidikan. Pendidikan Islam di Indonesia mengikuti masa dan dinamika perkembangan kaum muslimin. Dalam suatu komunitas muslim, maka terdapat tingkat aktivitas pendidikan Islam yang dilaksanakan sesuai dengan situasi dan kondisi.

Mengetahui sejarah dari pendidikan Islam itu sendiri adalah sangat penting terutama di Indonesia, termasuk bagi para praktisi pendidikan. Dengan mempelajari sejarah masa lampau, umat Islam dapat memahami sebab-sebab kemajuan dan kemunduran pendidikan Islam dari masa ke masa. Terutama interaksi yang terjadi dalam masyarakat, antara individu maupun antara golongan, akan menimbulkan suatu dinamika kehidupan kedinamikaan dan perubahan kehidupan akan bermuara pada terjadinya mobilitas sosial. Sehingga dapat dilakukan penyelidikan tentang struktur dan dinamika masyarakat yang berpengaruh terhadap perkembangan dan hambatan yang dialami Pendidikan Islam di Indonesia.

Dalam makalah ini akan dibahas tentang beberapa problematika internal yang dihadapi Pendidikan Islam yang mana pada akhirnya diharapkan dapat membantu para ahli pendidikan untuk menemukan solusi yang tepat.

  1. Rumusan Masalah

Apa saja problematika internal yang dihadapi oleh Pendidikan Islam di Indonesia?


  1. Tujuan Pembahasan

Mengetahui berbagai problematika internal yang dihadapi oleh Pendidikan Islam di Indonesia.



PEMBAHASAN

  1. Tantangan dan Konflik Internal Pendidikan Islam di Indonesia

  1. Menurunnya kualitas sumber daya manusia (SDM)

Tantangan pendidikan Agama Islam terkait dengan tantangan dunia pendidikan di Indonesia pada umumnya, terutama dalam meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, yaitu jika kualitas pendidikan menurun maka kualitas sumber daya manusia juga menurun dan lemah pula dalam hal keimanan dan ketakwaan, terdapatnya kesenjangan antara kualitas pendidikan dengan kenyataan empiris perkembangan masyarakat, serta pendidikan Islam tertinggal dalam hal metodologis.

Tantangan secara internal bahwa dalam lembaga pendidikan Islam itu berjalan semakin jauh menyimpang dari cita-cita semula yaitu mengembangkan sifat-sifat yang nasional dan demokratis.

Salah satu permasalahan Pendidikan Islam yang dihadapi bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan.1 Banyak faktor yang ikut serta menentukan kualitas sumber daya manusia (SDM), diantara strategi yang paling efektif dalam menentukan kualitas tersebut adalah melalui pendidikan. Maju mundurnya suatu masyarakat atau bangsa sangat ditentukan bagaimana pendidikan yang ditempuh masyarakat atau bangsa itu sendiri. Jadi maju mundurnya suatu masyarakat atau bangsa tergantung pada sebagian besar pendidikan yang berlaku dikalangan mereka.

Pendidikan Islam menjadi satu dalam sistem pendidikan nasional, tetapi predikat keterbelakangan dan kemunduran tetap melekat padanya, bahkan pendidikan Islam sering “dinobatkan” hanya untuk kepentingan orang-orang yang tidak mampu atau miskin, memproduk orang yang eksklusif, fanatik, dan bahkan pada tingkah yang sangat menyedihkan yaitu “terorisme-pun” dianggap berasal dari lembaga pendidikan Islam, karena pada kenyataannya beberapa lembaga pendidikan Islam “dianggap” sebagai tempat berasalnya kelompok tersebut. Walaupun “anggapan” ini keliru dan dapat ditolak, sebab tidak ada lembaga-lembaga pendidikan Islam manapun yang bertujuan untuk memproduk atau mencetak kelompok-kelompok orang seperti itu. Tetapi realitas di masyakarat banyak perilaku kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Apakah ada sesuatu yang salah dalam sistem, proses, dan orientasi pendidikan Islam.

Pendidikan Islam juga dihadapkan dan terperangkap pada persoalan yang sama, bahkan apabila diamati dan kemudian disimpulkan pendidikan Islam terkukung dalam kemunduran, keterbelakangan, ketidak berdayaan, dan kemiskinan, sebagaimana pula yang dialami oleh sebagian besar negara dan masyarakat Islam dibandingkan dengan mereka yang non Islam. Katakan saja, pendidikan Islam terjebak dalam lingkaran yang tak kunjung selesai yaitu persoalan tuntutan kualitas, relevansi dengan kebutuhan, perubahan zaman, dan bahkan pendidikan apabila diberi “embel-embel Islam”, dianggap berkonotasi kemunduran dan keterbelakangan, meskipun sekarang secara berangsur-angsur banyak diantara lembaga pendidikan Islam yang telah menunjukkan kemajuan (Soeroyo, 1991: 77). Tetapi pendidikan Islam dipandang selalu berada pada posisi deretan kedua atau posisi marginal dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia.

  1. Rendahnya Motivasi untuk maju dan berkembang lebih baik

Tantangan yang dihadapi pendidikan Islam yang kompleks dan berat, dikarenakan dunia pendidikan Islam juga dituntut untuk memberikan konstribusi bagi kemoderenan dan tendensi globalisasi, sehingga mau tidak mau pendidikan Islam dituntut menyusun langkah-langkah perubahan yang mendasar, menuntut terjadinya diversifikasi dan diferensiasi keilmuan dan atau mencari pendidikan alternatif yang inovatif.

Kondisi ini menuntut lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk bekerja serius dalam mengembangkan pendidikannya, karena A.Mukti Ali, menyatakan bahwa kelemahan-kelemahan pendidikan Islam di Indonesia dewasa ini lebih disebabkan oleh faktor-faktor penguasaan sistem dan metode, bahasa sebagai alat, ketajaman interpretasi [insinght], kelembagaan [oraganisasi], manajemen, serta penguasaan ilmu dan teknologi. Berkaitan dengan hal ini, M.Arifin, juga menyatakan bahwa pendidikan Islam harus didesak untuk melakukan inovasi yang tidak hanya berkaitan dengan perangkat kurikulum dan manajemen, tetapi juga menyangkut dengan startegi dan taktik operasionalnya. Strategi dan taktik itu, menuntut perombakan model-model pendidikan sampai dengan institusi-institusinya, sehingga lebih efektif dan efisien, dalam arti pedagogis, sosiologis dan kultural dalam menunjukkan perannya (M.Arifin, 1991:3). A. Syafii Maarif, menggambarkan situasi pendidikan Islam di Indonesia sampai awal abad ini tidak banyak berbeda dengan perhitungan kasar yang dikemukakan di atas. Sistem madrasah dan pesantren yang berkembang di nusantara ini dengan segala kelebihannya, juga tidak disiapkan untuk membangun peradaban (A. Syafii Maarif, 1996: 5).

Mutu Pendidikan Islam di Indonesia Sekarang

Untuk mengetahui mutu pendidikan Islam bukanlah hal yang sederhana, sebab banyak aspek yang terkait dengan mutu pendidikan tersebut. Berbagai sarana dan prasarana pendidikan hendaknya berorientasi pada peserta didik, bukan sebaliknya yang berorientasi pada kepentingan pribadi. Setidak-tidaknya ada tiga indicator utama yang dapat menentukan tinggi rendahnya kualitas pendidikan, yaitu dana pendidikan, kelulusan pendidikan dan prestasi yang dicapai dalam membaca komprehensif.2 Sehingga dapat diuraikan sebagai berikut

  1. Pendidikan yang berkualitas tidak mungkin dicapai tanpa dana yang cukup. Pendidikan yang berkualitas cenderung membutuhkan dukungan dana yang lebih besar daripada pendidikan yang berkualitas rendah, karena dana yang minim cenderung dapat menyebabkan anak mengalami drop out dan mengulang kelas yang tinggi, kecuali secara kasualistik bagi sejumlah kecil lembaga pendidikan Islam.

  2. Pendidikan yang berkualitas cenderung dapat menghasilkan angka-angka kelulusan yang cukup tinggi. Tentu saja criteria ini adalah angka yang sudah distandarkan.

  3. Kemampuan membaca komprehensif di negara berkembang seperti di Indonesia cenderung lebih rendah daripada di negara maju. Hal ini disebabkan kebiasaan menghafal dalam belajar siswa.

Kecenderungan Pendidikan Islam sekarang yang menitikberatkan pada pemberian bekal pengetahuan kepada anak didik dan sedikit dalam pembentukan values atau nilai-nilai dan karakter tentunya akan berpengaruh pada sikap anak didik. Semangat juang dan daya saing mereka menurun karena selama ini pendidikan Islam dalam hal pembentukan nilai-nilai dan karakter itu sangat minim.


  1. Kelemahan-kelemahan Pendidikan Islam yang tidak segera diatasi

Masalah internal yang dihadapi pendidikan Islam salah satunya adalah adanya kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam tubuh pendidikan Islam itu sendiri. Menurut Mochtar Buchori (1992) menilai kegagalan pendidikan agama di sekolah-sekolah karena praktek pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai (agama), dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan konatif-volutif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Buruknya sistem dan kebijakan pendidikan yang berlaku. Muatan kurikukum yang hanya mengandalkan kemampuan aspek kognitif dan mengabaikan pendidikan afektif menyebabkan berkurangnya proses humanisasi dalam pendidikan. Akibatnya terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan dalam kehidupan. Atau dapat dikatakan dalam praktiknya pendidikan agama berubah menjadi pengajaran agama, sehingga tidak mampu membentuk pribadi-pribadi Islam.3

Kelemahan [weakness], bahwa pendidikan Islam posisinya lemah, tidak profesional hampir disemua sektor dan komponennya, stress, terombang-ambing antara jati dirinya, apakah ikut model sekolah umum atau antara ikut Diknas dan Depag. Belum ada sistem yang mantap dalam pengembangan model pendidikan agama dan pendidikan keagamaan.

Muchtar Buchori juga menyatakan bahwa kegiatan pendidikan agama Islam yang berlangsung selama ini lebih banyak bersikap menyendiri, kurang berinteraksi dengan kegiatan-kegiatan pendidikan lainnya. Cara kerja semacam ini kurang efektif untuk keperluan penanaman suatu perangkat nilai yang kompleks. Pendidikan agama tidak boleh tidak boleh dan tidak dapat berjalan sendiri, tetapi harus berjalan bersama dan bekerjasama dengan program-program pendidikan nonagama kalau ingin mempunnyai relevansi terhadap perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.4

Towaf (1996) mengemukakan kelemahan-kelemahan Pendidikan agama Islam di sekolah, antara lain sebagai berikut :

  1. Pendekatan masih cenderung normatif, dalam artian pendidikan agama menyajikan norma-norma yang seringkali tanpa ilustrasi konteks sosial budaya sehingga peserta didik kurang menghayati nilai-nilai agama sebagai nilai yang hidup dalam keseharian.

  2. Kurikulum pendidikan agama Islam yang dirancang disekolah sebenarnya lebih menawarkan minimum kompetensi atau minimum informasi, tetapi GPAI seringkali terpaku padanya sehingga semangat untuk memperkaya kurikulum dengan pengalaman belajar yang bervariasi kurang tumbuh.

  3. GPAI kurang berupaya untuk menggali berbagai metode yang mungkin bisa dipakai untuk pendidikan agam Islam sehingga pelaksanaan pembelajaran terkesan monoton.

    1. Terbatasnya daya tampung dalam lembaga Pendidikan Islam

Daya tampung yang terbatas pada lembaga-lembaga pendidikan Islam juga menjadi suatu problematika tersendiri selain juga tidak terpenuhinya cita-cita bangsa untuk memeratakan pendidikan bagi seluruh masyarakat. Masih ada daerah-daerah yang kekurangan sarana belajar sehingga menjadi kendala bagi peserta didik untuk belajar. Misalnya, di tingkat perguruan tinggi daya tamping di universitass negeri juga terbatas. Dipandang dari sudut-sudut penyebaran guru juga tidak merata, baik ditinjau dari segi kuantitas dan kualitas yang terpusat dikota-kota. Banyak desa-desa terpencil sangat kekurangan guru terutama guru Pendidikan Agama Islam sehingga berpengaruh pada perkembangan sosial dalam masyarakat tersebut.

Salah satu komponen pokok terpenting dari pendidikan adalah guru. Dan juga salah satu permasalahan yang dihadapi pendidikan Islam sekarang adalah masalah guru. Guru dalam lembaga pendidikan Islam masih kurang, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.

  1. Belum mampu untuk bersaing dengan lembaga pendidikan lain

Perlakuan pemerintah dan masyarakat terhadap pendidikan Islam masih tetap sama, diskriminatif. Sikap inilah yang menyebabkan pendidikan Islam sampai detik ini terpinggirkan. Terpinggirnya pendidikan Islam dari persaingan sesungguhnya dikarenakan dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal, pertama, meliputi manajemen pendidikan Islam yang pada umumnya belum mampu menyelenggarakan pembelajaran dan pengelolaan pendidikan yang efektif dan berkualitas. Hal ini tercermin dari kalah bersaing dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah pembinaan Departemen Pendidikan Nasional [Diknas] yang umumnya dikelola secara modern. Kedua, faktor kompensasi profesional guru yang masih sangat rendah. Para guru yang merupakan unsur terpenting dalam kegiatan belajar mengajar, umumnya lemah dalam penguasaan materi bidang studi, terutama menyangkut bidang studi umum, ketrampilan mengajar, manajemen keles, dan motivasi mengajar. Hal ini terjadi karena system pendidikan Islam kurang kondusif bagi pengembangan kompetensi profesional guru.

Ketiga, adalah faktor kepemimpinan, artinya tidak sedikit kepala-kepala madrasah yang tidak memiliki visi, dan misi untuk mau ke mana pendidikan akan dibawa dan dikembangkan. Kepala madrasah seharusnya merupakan simbol keunggulan dalam kepemimpinan, moral, intelektual dan profesional dalam lingkungan lembaga pendidikan formal, ternyata sulit ditemukan di lapangan pendidikan Islam. Pimpinan pendidikan Islam bukan hanya sering kurang memiliki kemampuan dalam membangun komunikasi internal dengan para guru, melainkan juga lemah dalam komunikasi dengan masyarakat, orang tua, dan pengguna pendidikan untuk kepentingan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Biasanya pendekatan yang digunakan adalah pendekatan birokratis daripada pendekatan kolegial profesional. Mengelola pendidikan bukan berdasar pertimbangan profesional, melainkan pendekatan like and dislike (Mahfudh Djunaidi, 2005), dengan tidak memiliki visi dan misi yang jelas.

Dalam menghadapi perubahan dan tantangan masyarakat global, ada beberapa persoalan mendasar internal pendidikan Islam yang harus diselesaikan terlebih dahulu secara tuntas, yaitu :

Pertama, harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an, berupa persolan dikotomik pendidikan Islam yang merupakan persoalan mendasar dari perkembangan pendidikan Islam selama ini. Pendidikan Islam harus dijauhkan dari dikotomik, menuju pada integrasi antara ilmu agama dan ilmu umum, sehingga tidak melahirkan jurang pemisah antara ilmu agama dan ilmu bukan agama. Integrasi tersebut dengan sekaligus menciptakan perangkat lunah yaitu kerangka filosofis yang jelas dan baku. Ahmad Syafii Maarif, menyatakan bahwa pendidikan Islam harus dijauhkan dari buaian hellenisme yang diberi jubah Islam dan kita harus berada pada sumbu Islam, al-Qur’an, Hadis dan karir yang pernah diraih nabi Muhammad Saw. Maka kita tidak perlu berteriak, mari kita Islamkan ilmu modern”, yang hanya akan mengulangi hal serupa, yaitu pendidikan Barat yang dijustifikasikan dengan ayat-ayat Qur’an. Berkaitan dengan hal tersebut, yang pertama kali harus dimiliki adalah kemandirian dalam segala aspek. Dengan kemandirian tersebut, akan melindungi proses pengembangan pendidikan Islam dari berbagai intervensi yang akan memperkosa proses pengembangan pendidikan Islam untuk tetap bersiteguh berdiri pada konsep yang murni dari al-Qur’an dan al-Hadis untuk memberdayakan bangsa yang mayoritas muslim ini, (Ahmad Syafii Maarif, 1997: 67).

Memang diakui, bahwa untuk mengikis habis persoalan dikotomik bukan hal yang mudah, karena akan berhadapan dengan kontroversi pemikiran antar pemikiran kovensional (tradisional) dengan pemikiran kontemporer modern. Tetapi pada sisi lain, diakui bahwa secara malu-malu pendidikan Islam telah melakukan perubahan dengan mengintegrasikan pendidikan agama dengan pendidikan umum. Misalnya saja, kebijakan konvergensi yang diambil Departemen Agama dengan memperkecil perbedaan antara pola pendidikan di lembaga umum dan lembaga agama awalnya direspons pendidikan Islam secara malu-malu, istilah Azyumardi “malu-malu kucing” dan istilah Karel Steembrink, “menolak sambil mengikuti”. Artinya, pada akhirnya pendidikan Islam juga melakukan proses adaptasi dengan mengembangkan sistem mengikuti pendidikan umum. Maka kita harus mengikis habis wawasan sejarah pendidikan Islam yang tidak sesuai dengan gagasan yang dibawa al-Qur’an. Azyumardi, menekankan bahwa perubahan bentuk dan isi pendidikan Islam di Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari tuntutan perubahan zaman. Menurutnya, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus memiliki visi keislaman, kemoderenan, keknian, masa depan dan kemanusian agar compatible dengan perkembangan zaman.5

Kedua, perlu pemikiran kembali tujuan dan fungsi lembaga-lembaga pendidikan Islam. Artinya lembaga-lembaga pendidikan tidak hanya berorientasi atau memenuhi keinginan kepentingan akhirat saja dengan mengajarkan keterampilan beribadah saja. Hal itupun, masih dirasakan apabila pendidikan Islam “dipandang dari dimensi ritual masih jauh dalam memberikan pengayaan spritual, etika dan moral”.6 Memang diakui, bahwa peserta didik secara verbal kognitif dapat memahami ajaran Islam dan terampil dalam melaksanakannya [psikomotorik], tetapi kurang menghayati [afektif] kedalaman maknanya. Oleh karena itu, lembaga-lembaga pendidikan Islam harus menjadikan pendidikannya tersebut sebagai tempat untuk mempelajari ilmu-ilmu agama [spritual ilahiyah], ilmu pengetahuan, teknologi, keterampilan atau kemahiran, seni dan budaya serta etika dan moral ilahiyah.

Tantangan dan kendala itu ada yang datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri dan ada pula yang datang dari luar. Kebangkitan moral-spiritual akan menjadi satu kekuatan pendorong yang amat penting, tetapi harus dapat mengatasi kondisi mental yang di banyak bagian umat Islam masih merupakan rintangan bagi terwujudnya kebangkitan moral-spiritual itu. Kondisi mental ini mempunyai banyak segi, seperti lemahnya pelaksanaan ajaran Islam disebabkan banyak hal antara lain kuatnya kebiasaan tertentu dan kurangnya kekuatan kehendak. Kondisi mental lain yang merupakan kendala adalah kurangnya keseimbangan antara daya nalar atau rasio dengan daya rasa atau emosi. Hal itu dapat menimbulkan cara berpikir yang kurang cekatan dan mampu untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan umat manusia di kelilingnya. Juga kenyataan bahwa sukar sekali mencapai kesatuan pandangan di kalangan umat Islam merupakan tantangan berat bagi kebangkitan moral-spiritual yang kuat. Perbedaan pendapat adalah hal yang lumrah dan bahkan bermanfaat untuk memperoleh pandangan yang luas tentang satu persoalan. Akan tetapi perbedaan pendapat harus diimbangi dengan kemampuan mencapai keputusan yang menguntungkan semua pihak (Win-Win Solution). Dengan begitu akan lebih terjamin kekompakan dan kemantapan perjuangan. .

Dalam pada itu kebangkitan material menghadapi kendala berupa tingkat penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang umumnya masih rendah. Hal ini sangat berbeda dengan masa lampau ketika justru umat Islam memegang peran penting dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selama kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kurang memadai, umat Islam tidak dapat membangun kemampuan ekonomi yang dapat menciptakan aneka ragam produksi dan jasa. Akibatnya tidak saja pada terbatasnya produktivitas, akumulasi modal dan rendahnya penghasilan, tetapi juga berpengaruh terhadap kemajuan berkreasi dalam segala aspek kebudayaan. Juga kemampuan berpolitik akan kurang berkembang. Kemampuan membela dan mengamankan diri juga menjadi terbatas kalau penghasilan dan produksi rendah. Alhasil, seluruh kesejahteraan tidak berada pada tingkat yang tinggi. Agar supaya Kebangkitan Islam membawa masa depan yang lebih cerah dan maju bagi umat Islam, harus terjadi berbagai perubahan yang menuntut adanya aneka macam usaha yang harus dilakukan umat Islam. Oleh sebab itu diperlukan Revitalisasi Islam, yaitu umat Islam yang penuh vitalitas atau daya hidup untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perubahan ke arah kemajuan.

Selain persoalan tersebut, pendidikan Islam sekarang ini juga dihadapkan pada persoalan-persoalan yang cukup kompleks, yakni persoalan reformasi dan globalisasi menuju masyarakat Indonesia baru. Tantangan yang dihadapi sekarang adalah bagaimana upaya untuk membangun paradigma baru pendidikan Islam, visi, misi, dan tujuan, yang didukung dengan sistem kurikulum atau materi pendidikan, manajemen dan organisasi, metode pembelajaran untuk dapat mempersiapkan manusia yang berkualitas, bermoral tinggi dalam menghadapi perubahan masyarakat global yang begitu cepat, sehingga produk pendidikan Islam tidak hanya melayani dunia modern, tetapi mempunyai pasar baru atau mampu bersaing secara kompetetif dan proaktif dalam dunia masyarakat modern, global dan informasi.

    1. Perubahan Yang Perlu dilakukan Pendidikan Islam

Perubahan yang perlu dilakukan pendidikan Islam, yaitu:

[1] Membangun sistem pendidikan Islam yang mampu mengembangkan sumber daya manusia yang berkualitas agar mampu mengantisipasi kemajuan iptek untuk menghadapi tantangan dunia global menuju masyarakat Indonesia baru yang dilandasi dengan nilai-nilai ilahiyah, kemanusia [insaniyah], dan masyarakat, serta budaya.

[2]Menata manajemen pendidikan Islam dengan berorientasi pada manajemen berbasis sekolah agar mampu menyerap aspirasi masyarakat, dapat mendayagunakan potensi masyarakat, dan daerah [otonomi daerah] dalam rangka penyelenggaraan pendidikan Islam yang berkualitas.

[3]Meningkatkan demokratisasi penyelenggaraan pendidikan Islam secara berkelanjutan dalam upaya memenuhi kebutuhan masyarakat agar dapat menggali serta mendayagunakan potensi masyarakat.

Pendidikan Islam harus mulai berbenah diri dengan menyusun strategi untuk dapat menyongsong dan dapat menjawab tantangan perubahan tersebut, apabila tidak maka pendidikan Islam akan tertinggal dalam persaingan global. Maka dalam menyusun strategi untuk menjawab tantangan perubahan tersebut, paling tidak harus memperhatikan beberapa ciri, sebagai berikut:

a. Pendidikan Islam diupayakan lebih diorientasikan atau "lebih menekankan pada upaya proses pembelajaran [learning] daripada mengajar [teaching]".

b. Pendidikan Islam dapat "diorganisir dalam suatu struktur yang lebih bersifat fleksibel".

c. Pendidikan Islam dapat "memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri",

d. Pendidikan Islam, "merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan" 7

Keempat ciri ini, dapat disebut dengan paradigma pendidikan sistematik-organik yang "menuntut pendidikan bersifat double tracks, artinya pendidikan sebagai suatu proses yang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat". Dalam "pelaksanaan pendidikan senantiasa mengaitkan proses pendidikan dengan kebutuhan masyarakatnya pada umumnya dan dunia kerja pada khususnya. Karena keterkaitan ini memiliki arti, bahwa peserta didik tidak hanya ditentukan oleh apa yang mereka lakukan di lingkungan sekolah, melainkan peserta didik juga ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan di dunia kerja dan di masyarakat pada umumnya" .8Dengan kata lain pendidikan yang bersifat double tracks, menekankan pengembangkan pengetahuan melalui kombinasi terpadu antara tuntutan kebutuhan masyarakat, dunia kerja, pelatihan, dan pendidikan formal persekolahan, sehingga "sistem pendidikan akan mampu menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan dan fleksibilitas yang tinggi untuk menyesuaikan dengan tuntutan masyarakat yang senantiasa berubah dengan cepat" .9

Pendidikan Islam harus berorientasi kepada pembangunan dan pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualitas, keterampilan, kecakapan penalaran yang dilandasai dengan "keluhuran moral" dan "kepribadian", sehingga pendidikan Islam akan mampu mempertahankan relevansinya di tengah-tengah laju pembangunan dan pembaruan paradigma sekarang ini, sehigga pendidikan Islam akan melahirkan manusia yang belajar terus [long life education], mandiri, disiplin, terbuka, inovatif, mampu memecahkan dan menyelesaikan berbagai problem kehidupan10 , serta berdayaguna bagi kehidupan dirinya dan masyarakat. Paradigma baru pendidikan Islam harus diorientasikan kepada pembangunan, pembaruan, pengembangan kreativitas, intelektualisme, keterampilan, kecakapan, penalaran, inovatif, mandiri, disiplin dan taat hukum, terbuka dalam masyarakat plural, dan mampu menghadapi serta menyelesaikan persoalan pada era globalisasi dengan dilandasi keanggunan moral dan akhlak dalam usaha membangun manusia dan masyarakat yang berkualitas bagi kehidupan dalam masyarakat madani Indonesia.

Di samping hal di atas, secara umum, ada beberapa hal yang mesti diperhatikan setiap pengelola pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitasnya. Pertama, profesionalisme. Setiap lembaga pendidikan Islam tidak boleh lagi dikelola sekadarnya. Karena itu, semuanya harus berbenah secara serius menuju area profesionalisme. Tidak ada lagi orang yang hanya bermodal “hebat dan berniat baik” latah dan asal-asalan mendirikan lembaga pendidikan Islam. Segalanya mesti dipikirkan dan dikelola secara profesional. Pendidikan Islam sangat butuh orang-orang yang dapat menahan diri untuk tidak membawa masalah luar ke dalam organisasi. Jangan lagi ada orang yang hanya menjadikan lembaga sebagai kendaraan ambisi pribadinya, mendapatkan kedudukan, kekayaan atau mendongkrak prestise. Tentu saja, semua tenaga profesional itu diberi imbalan yang sesuai. Tidak boleh lagi ada yang hanya “digaji” sekadar untuk ongkos jalan.

Kedua, kemandirian. Ketergantungan yang besar terhadap pihak tertentu, terutama masalah finansial, membuat pendidikan Islam sulit berkembang. Apalagi jika harapan satu-satunya sumber finasial itu adalah siswa atau orang tua. Pengelola harus lebih kreatif dan gigih menyongsong kemandirian finansial. Hal tersebut bisa dilakukan dengan menggali lebih serius potensi internal lembaga atau membangun kerjasama dengan berbagai pihak. Saat ini, sangat banyak lembaga pendidikan lain yang eksis “hanya” karena bisa bekerjasama dengan orang atau lembaga donor, nasional dan internasinal, tanpa mengorbankan jatidiri mereka. Jangan alergi dulu dengan lembaga internasional, apalagi kalau alasan ini hanya untuk menutupi ketidakmampuan pengelolanya.

Ketiga, menggairahkan studi ke-Islaman. Tidak dapat dipungkiri bahwa sepinya peminat pendidikan Islam karena adanya anggapan, yang banyak benarnya, bahwa pendidikan Islam hanya berorientasi akhirat. Mereka memburu pendidikan umum karena butuh ilmu untuk sukses dalam kehidupan di dunia, atau dunia akhirat. Para pelajar dan orang tua lebih berminat memasuki program studi umum karena dianggap lebih menjamin masa depan. Trend ini harus dihadapi dengan menggairahkan studi Islam. Materi pembelajaran tidak boleh lagi dibiarkan terus-menerus menjauh dari realitas dunia, tapi harus ada upaya “pembumian”. Orang yang mendalami ilmu-ilmu Islam tidak boleh lagi merasa di awang-awang, tapi menginjak bumi karena hasil studinya akan dapat dinikmati dalam kehidupan dunia dan akhirat.

Dengan paradigma baru tersebut, pendidikan Islam harus dapat megembangkan kemampuan dan tingkah laku manusia yang dapat menjawab tantangan internal maupun tantangan global menuju masyarakat madani Indonesia. Pendidikan harus dikembangkan berdasarkan tuntutan acuan perubahan tersebut dan berdasarkan karakteristik masyarakat madani yang demokratis. Sedangkan untuk menghadapi kehidupan global, proses pendidikan Islam yang diperlukan adalah mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi, kemampuan kerja sama, mengembangkan sikap inovatif, serta meningkatkan kualitas. Dengan acuan ini, secara pasti yang akan terjadi adalah penggeseran paradigma pendidikan, sehingga kebijakan dan strategi. Meskipun saat sekarang ini "konsep nationalstate mulai diragukan, dan diganti dengan nelfare state bahkan global state yang tidak lagi mengenal tapal batas (borderless) karena kemajuan teknologi informasi, tetapi pembinaan karaktek nasional tetap relevan dan bahkan harus dilakukan pengembangan pendidikan perlu diletakan untuk menangkap dan memanfaatkan semaksimal mungkin kesempatan tersebut, apabila tidak, maka pendidikan Islam akan menjadi pendidikan yang "termarginalkan" dan tertinggal ditengah-tengah kehidupan masyarakat global.

Pergeseran drastis paradigma pendidikan sedang terjadi, dengan terjadinya aliran informasi dan pengetahuan yang begitu cepat dengan efisiensi penggunaan jasa teknologi informasi internet yang memungkinkan tembusnya batas-batas dimensi ruang, birokrasi, kemampuan dan waktu. Penggeseran paradigma tersebut juga didukung dengan adanya kemauan dan upaya untuk melakukan reformasi total diberbagai aspek kehidupan bangsa dan negara menuju masyarakat madani Indonesia, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, pergeseran paradigma pendidikan tersebut juga diakui sebagai akibat konsekuensi logis dari perubahan masyarakat, yaitu berupa keinginan untuk merubah kehidupan masyarakat Indonesia yang demokratis, berkeadilan, menghargai hak asasi manusia, taat hukum, menghargai perbedaan dan terbuka menuju masyarakat madani Indonesia.
Selanjutnya, terjadi perubahan paradigma pendidikan juga sebagai akibat dari "percepatan aliran ilmu pengetahuan yang akan menantang sistem pendidikan konvensional yang antara lain sumber ilmu pengetahuan tidak lagi terpusat pada lembaga pendidikan formal [SD,SMP,SMU,PT] yang konvensional. Sumber ilmu pengetahuan akan tersebar dimana-mana dan setiap orang akan dengan mudah memperoleh pengetahuan tanpa kesulitan.

C.Analisis SWOT Pendidikan Islam Terkait dengan Masalah-masalah Internal

Pendidikan Islam (bukan kelembagaan), jika kita evaluasi dengan SWOT (salah satu alat evaluasi dalam manajemen) maka kita melihat dari :

Strength : Situasi kondisi kekuatan dari pendidikan Islam bahwa Islam sebagai milah/ agama yang mempunyai nilai kebenaran universal maka kita dapat melihat dari sisi kekuatannya :

1. mempunyai ajaran-ajaran/nilai kebenaran univarsal yang dapat diterapkan dalam segala bidang

2. mempunyai prinsip dialogis ( wasyawirhum fi al-amri)

3. mempunyai prinsip keadilan (al-‘adalah), keseimbangan ( al-Tawazun )dll

4. mempunyai prinsip ajaran berproses dan ilmiah ( kun fa yakun )

5. mempunyai ajaran monoteis (yang tidak terikat oleh ruang dan waktu)

6. mengedepankan pembentukan karakter / akhlak al-karimah / moral /etik

7. mementingkan pendidikan keluarga dan lingkungan

8. ajaran yang sesuai dengan perkembangan zaman

9. mempunyai spirit dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan


Weakness adalah situasi kondisi kelemahan pendidikan Islam antara lain : belum mempunyai manajemen pendidikan secara sistematis belum seimbangnya rasio SDM (steakholder,guru) yang professional paradigma pemisahan antara pendidikan Islam dan umum masih kurangnya pengembangan kurikulum pendidikan Islam belum adanya sistematika materi yang disesuaikan dengan perkembagan jiwa kurangnya hasil-hasil penelitian dalam pendidikan Islam kurangnya inovasi-inovasi metode pengajaran dalam pendidikan Islam masih kurangnya lembaga-lembaga pelatihan guru pendidikan Islam.

Opportunity adalah situasi atau kondisi yang merupakan peluang di luar Pendidikan islam dan memberikan peluang berkembang bagi pendidikan Islam di masa depan antara lain : Tujuan Pendidikan Nasional dan undang-undang serta permen tentang Sisdiknas, Pemisahan antara pendidikan umum/ barat dan pendidikan Islam Era globalisasi yang berindikasi bebasnya nilai-nilai Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia akan religitas.


Threat, adalah situasi yang merupakan ancaman bagi pendidikan Islam yang datang dari luar dan dapat mengancam eksistensi pendidikan Islam di masa depan
1. ajaran dan budaya selain Islam

2. sekularisasi

3. pemahaman secara parsial terhadap Ajaran Islam

4. pemahaman rasionalis dan pragmatisme










KESIMPULAN

Tantangan dan kendala itu ada yang datang dari dalam tubuh umat Islam sendiri dan ada pula yang datang dari luar. Kebangkitan moral-spiritual akan menjadi satu kekuatan pendorong yang amat penting, tetapi harus dapat mengatasi kondisi mental yang di banyak bagian umat Islam masih merupakan rintangan bagi terwujudnya kebangkitan moral-spiritual itu. Kondisi mental ini mempunyai banyak segi, seperti lemahnya pelaksanaan ajaran Islam disebabkan banyak hal antara lain kuatnya kebiasaan tertentu dan kurangnya kekuatan kehendak. Kondisi mental lain yang merupakan kendala adalah kurangnya keseimbangan antara daya nalar atau rasio dengan daya rasa atau emosi. Hal itu dapat menimbulkan cara berpikir yang kurang cekatan dan mampu untuk melakukan penyesuaian dengan perkembangan umat manusia di kelilingnya. Juga kenyataan bahwa sukar sekali mencapai kesatuan pandangan di kalangan umat Islam merupakan tantangan berat bagi kebangkitan moral-spiritual yang kuat.

Agar supaya Kebangkitan Islam membawa masa depan yang lebih cerah dan maju bagi umat Islam, harus terjadi berbagai perubahan yang menuntut adanya aneka macam usaha yang harus dilakukan umat Islam. Oleh sebab itu diperlukan Revitalisasi Islam, yaitu umat Islam yang penuh vitalitas atau daya hidup untuk melakukan hal-hal yang dapat menimbulkan perubahan ke arah kemajuan.

Tantangan internal yang menyangkut pendidikan agama Islam sebagai program pendidikan, baik dari segi orientasi pendidikan agama yang kurang tepat, sempitnya pemahaman terhadap esensi ajaran agama Islam, perancangan dan penyusunan materi yang kurang tepat, maupun metodologi dan evaluasinya, serta pelaksanaan dan penyelenggaraan pendidikan agama Islam itu sendiri yang sebagiannya masih bersifat eksklusif dan belum mampu berinteraksi dan bersinkronisasi dengan yang lainnya.




DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi, Pendidikan Agama Harus Rasional dan Toleran, http:// islamlib. com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003

Daulay, Haidar Putra.Dr.H. Pendidikan Islam : Dalam Sistem Pendidikan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana.2006.

DEPAG. Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta.2005

Fadjar, A. Malik., 1999, Reformasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia.

Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,(Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998) .

Muhaimin, Drs. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.2001

Suroyo, 1991, Perbagai Persoalan Pendidikan; Pendidikan Nasional dan Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam, Kajian tentang Konsepo Pendidikan Islam, Problem dan Prospeknya, Volem 1 Tahun 1991, Fakultas Tarbiyah IAIN, Yogyakarta.

www.journal.uii.ac.id

www.konsultanpendidikanislam.blogspot.com

www.sanaky.com

www.sayidiman.suryohadiprojo.com

Zamroni, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing,Yogyakarta. 2000



1 DEPAG, Rekonstruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Hal.163

2 Ibid

3 Muhaimin, Drs. Paradigma Pendidikan Islam. Hal.88

4 Ibid.hal.89

5 [Azyumardi Azra,http://islamlib.com/WAWANCARA/azra3.html,6/27/2003].

6 (A. Malik Fadjar, Reorientasi Pendidikan Islam,:52). ilahiyah

7 Zamroni, 2000, Paradigma Pendidikan Masa Depan, Bigraf Publishing,Yogyakarta. Hal.9

8 Ibid, hal.9

9 Ibid, hal.9

10 Faisal Ismail, Paradigma Kebudayaan Islam Studi Kritis dan Refleksi Historis,(Yogyakarta:Tiara Ilahi Press,1998) . hal. 97-98


Sabtu, 10 Januari 2009

Pendidikan Anak Perempuan Yang Terabaikan


SEKOLAH ALTERNATIF - Sejumlah anak perempuan yang tinggal di perkampungan kumuh Cengkareng, Jakarta Barat, mengikuti sekolah alternatif. Mereka merupakan anak korban kemiskinan yang tidak bisa mengikuti pendidikan di sekolah formal.

BADAN PBB yang menangani masalah anak di dunia, Unicef, dalam The State of The World Children Report 2004 (Laporan Situasi Anak Dunia 2004), mengingatkan, upaya pembangunan yang dilakukan negara-negara di dunia banyak mengabaikan anak perempuan. Jika langkah untuk menyekolahkan mereka tidak segera diambil dalam waktu dua tahun mendatang, upaya negara-negara di dunia untuk menekan kemiskinan tidak akan bisa tercapai.

Di Indonesia, dalam Laporan Departemen Pendidikan Nasional, terlihat jelas kondisi pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan, khususnya bagi anak perempuan yang ingin melanjutkan pendidikannya ke sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), atau mereka yang berasal dari keluarga miskin dan tinggal di pedesaan. Sebagai contoh, hanya separo anak pedesaan yang bersekolah. Sementara di perkotaan, anak yang bersekolah jumlahnya mencapai lebih dari 70 persen.

"Meskipun anak-anak di Indonesia yang duduk di bangku sekolah dasar (SD) berjumlah tinggi dan sesuai dengan angka rata-rata di kawasan Asia Timur dan Pasifik, jumlah anak laki-laki maupun perempuan yang mengikuti pendidikan lebih tinggi tidaklah besar," ujar Steve Allen, Kepala Perwakilan Unicef untuk Indonesia, saat berbicara dalam acara peluncuran Laporan Situasi Anak Dunia 2004 yang berlangsung di Jakarta, Selasa (30/12).

Ironisnya, angka partisipasi murni (APM) 93 persen di tingkat SD anjlok menjadi sedikit di atas 60 persen di SLTP. Data yang dihimpun Depdiknas juga memperlihatkan adanya perbedaan besar dalam jumlah anak laki-laki yang putus sekolah dibandingkan anak perempuan, di tingkat SD maupun SLTP. Kemungkinan anak perempuan putus sekolah jauh lebih besar dibandingkan anak laki-laki. Di SLTP pun demikian halnya. Perbedaan jumlah yang putus sekolah antara murid laki-laki dan perempuan sedikit membesar di sekolah menengah umum (SMU), yaitu tujuh anak perempuan dibanding tiga anak laki-laki.

Steven Allen menjelaskan, perbedaan antara anak perempuan dan anak laki-laki dalam bidang pendidikan terlihat dalam angka masyarakat yang melek huruf di Indonesia. "Jumlah wanita yang buta aksara mencapai hampir 20 persen sedangkan laki-lakinya kurang dari 10 persen," ujarnya.

Ia berpendapat, kecil peluang Indonesia untuk bisa membuat angka kemiskinan, kematian anak, HIV/AIDS dan penyakit lain menurun tajam jika negara itu tidak mampu menegakkan hak semua anak perempuan dan laki-laki untuk memperoleh pendidikan dasar secara layak.

"Meskipun pemerintah menyadari masalah ini dan berusaha mengatasinya, salah satu masalah besar dalam upaya menyediakan pendidikan berkualitas bagi anak-anak khususnya anak perempuan, adalah sedikitnya anggaran yang dialokasikan oleh pemerintah untuk pendidikan. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, anggaran pendidikan merosot tajam, dari sekitar sembilan persen menjadi kurang dari tujuh persen dari anggaran nasional," ia memaparkan.

Anggaran Indonesia untuk pendidikan merupakan yang terendah di kawasan Asia Timur dan Pasifik, Cina, Malaysia, Filipina dan Singapura, yang semuanya adalah pesaing utama Indonesia di bidang ekonomi. Negara-negara itu mengeluarkan dana lebih dari tiga kali lipat yang dikeluarkan Indonesia, sehingga wajar jika perkembangan ekonomi Indonesia pun berada jauh di bawah negara-negara pesaingnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan penelitian Unicef, ada beberapa hal yang membuat anak perempuan tidak dapat memperoleh pendidikan yang setara, yaitu buku pelajaran yang bias gender dan kuat kesan steoreotip gendernya masih banyak dipakai di sekolah-sekolah di Indonesia.

Hasil analisis isi buku pelajaran yang digunakan di SD menunjukkan, ilustrasi di dalam buku pelajaran lebih banyak menonjolkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak laki-laki digambarkan lebih beragam dan kreatif perannya dibandingkan anak perempuan. Selain itu, laki-laki lebih banyak disebut di dalam buku dibandingkan perempuan.

Stereotip gender masih terus ada dan ini terefleksikan melalui cara siswa memilih spesialisasi di sekolah kejuruan dan universitas, yang tampak adanya semacam diskriminasi yang dilakukan secara sadar oleh anak perempuan maupun laki-laki. Ilmu sosial umumnya banyak diambil oleh siswa perempuan sedangkan bidang teknologi banyak dipelajari siswa laki-laki.

"Meskipun sudah ada kebijakan nasional untuk mengedepankan kesetaraan pria dan wanita, belum ada cukup banyak program yang dijalankan untuk mengatasi masalah ketidaksetaraan di bidang pendidikan dengan memberikan peluang dan mengikutsertakan anak-anak yang kurang beruntung, termasuk anak perempuan dari keluarga miskin dan termarginal," ia menambahkan.

Pernikahan dini, kata Steve Allen, menjadi salah satu persoalan penting yang ditemui di daerah-daerah tertentu di Indonesia, contohnya di Indramayu, Jawa Barat, karena hal itu akan membuat anak perempuan tidak bisa mengenyam pendidikan secara cukup.

"Lebih parah dari itu, data pemerintah pusat dan daerah berdasarkan jenis kelamin tidak memadai, sehingga sektor pendidikan kesulitan untuk menilai kemajuan di luar jumlah anak yang sekolah dan turut berpartisipasi dalam proses belajar. Data berdasarkan jenis kelamin kebanyakan dipakai untuk membuat laporan tentang komitmen Indonesia di dunia internasional, namun jarang dimanfaatkan pemerintah dalam menyusun kebijakan dan perencanaan proyek," tuturnya. (E-5)