KIPRAH PEREMPUAN DALAM PANGGUNG POLITIK
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia?yang termasuk negara-negara berpenduduk terbesar di dunia setelah Bangladesh dan China?bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015. Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalam Undang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?
Di Indonesia, gerakan feminisme sudah merambah ke wilayah politik. Isu kesetaraan gender mulai merebak di Indonesia pada sekitar tahun 1990-an. Secara perlahan-lahan, gerakan feminisme menuntut kesetaraan kaum perempuan di Indonesia untuk mendapat hak-hak di bidang sosial dan budaya. Namun lambat laun, seiring dengan bergulirnya reformasi (1998), gerakan feminisme mulai merambah wilayah politik kekuasaan. Sebab, berdasarkan catatan sejarah bangsa Indonesia, peran kaum perempuan sangat minim di pentas politik. Padahal, jumlah kaum perempuan mendominasi kaum laki-laki di Indonesia. Wajar jika kemudian kaum perempuan menuntut kesetaraan di bidang politik (kekuasaan). (/www.menegpp.go.id)
PEREMPUAN DAN KEBEBASAN BERPOLITIK
Menurut Ramlan Subekti terdapat sekurang kurangnya lima pengertian tentang politik, yaitu sebagai berikut :
§ Usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kehidupan bersama
§ Segala hak yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan
§ Segala hak yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
§ Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum
§ Politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumebr yang dianggap penting
Sedangkan, kata perempuan sendiri mempunyai akar kata, yaitu “empu”, arti idealnya yakni seorang guru kehidupan. Tapi dalam realitasnya, banyak orang mengidentikkan kaum perempuan selalu dengan stereotip 3 M (macak/dandan, masak, dan manak/melahirkan), 3 ur (dapur, sumur, kasur), 5 ah yaitu, tunggu omah, olah-olah, momong bocah, asah-asah, mlumah (jaga rumah, memasak, mengasuh anak, mencuci, dan melayani suami). Kalau begitu adanya, bagaimana dengan pepatah lama, surga ada ditelapak kaki ibu?. Disini nyata adanya gender inequalities culture-budaya ketidakadilan gender yang sudah mentradisi.
Di lain matra, sebetulnya ada perbedaan mencolok antara kekuasaan lelaki dan perempuan. Kekuasaan pria itu power over, sifatnya merusak-menindas, sedangkan kekuasaan perempuan itu power to, membagi dan konstruktif. Idealnya, seorang perempuan mempunyai tempat dalam masyarakat, bukan selalu karena keperempuannya yang khas, tapi karena kepribadiannya sebagai seorang manusia dan warga masyarakat. Dan lebih penting lagi karena nilai dari tugas-tugas bermanfaat yang berhasil diseleseikannya.
Menurut Romo Mangun, esensi perempuan ada pada rahim dan sikap serta cita rasanya menghadapi suami, anak-anak dan kehidupannya. Kerahiman perempuan adalah salah satu lambang religiositas, karena rahim itu mengemban dan menumbuhkan benih kehidupan. Jelas bahwa kaum perempuan adalah roh pengemban kehidupan.
Perjuangan para aktivis feminisme di Indonesia bukannya tidak mendapat rintangan yang berarti. Dalam garis besarnya, tantangan yang dihadapi para aktivis feminisme di Indonesia berasal dari faktor eksternal dan internal. Faktor-faktor eksternal yang menjadi penghambat gerakan feminisme di Indonesia meliputi: pertama, dominasi budaya patriarkhi di Indonesia. Sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi. Padahal, untuk mengubah pola pikir yang bias gender butuh proses yang lama. Bahkan, menurut penulis, proses ini tidak akan cukup sampai melewati satu generasi.
Kedua, pemahaman agama yang bias gender. Khususnya umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Secara umum umat Islam di Indonesia menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi. Inilah yang sampai saat ini menjadi perdebatan di kalangan cendekiawan Muslim. Sebab, sejarah kelahiran agama Islam memang mengambil setting historis dan budaya gurun pasir yang sangat kuat berpegang pada sistem sosial dan budaya patriarkhi (Arab). Jika memahami kitab suci Al-Qur?an tanpa metodologi dan pemahaman sistem sosial, budaya, dan politik yang memadai, maka kecenderungan untuk mereduksi pesan-pesan wahyu secara keliru semakin besar. Sebab, secara tekstual, pesan-pesan dalam kitab suci jelas lebih menempatkan dominasi kaum laki-laki. Tetapi, secara kontekstual, ajaran-ajaran Islam menempatkan kaum perempuan dalam posisi setara dengan kaum laki-laki.
Ketiga, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung kaum perempuan. Pasca reformasi, iklim kebebasan berekspresi di negeri ini mendapat jaminan penuh dalam system pemerintahan demokratis. Tetapi sayang jabatan-jabatan politik lebih banyak diisi oleh kaum laki-laki. Hal inilah yang kemudian mendorong para aktivis feminisme untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya.
Tampaknya, perjuangan ini membuahkan hasil ketika undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia. Undang-undang yang menjamin keterlibatan kaum perempuan di pentas politik sudah disahkan, tetapi tantangan berat masih menghambat gerakan feminisme di Indonesia. Menurut para aktivis feminisme, UU No. 12 Tahun 2003 merupakan kebijakan setengah hati. Sebab, budaya patriarkhi masih kuat mengganjal laju gerakan feminisme untuk mewujudkan keadilan di bidang politik bagi kaum perempuan. Di samping itu, pola pikir umat Islam masih belum bisa menerima sepak-terjang kaum perempuan di pentas politik.
Selain faktor eksternal yang menghambat gerakan feminisme di Indonesia, faktor internal juga menjadi catatan tersendiri. Sampai saat ini, kaum perempuan di Indonesia belum sadar terhadap hak-hak politik mereka. Masih terdapat stigma bahwa politik itu kotor sehingga kaum perempuan enggan memasukinya. Di samping itu, mereka juga masih menganggap perempuan tidak layak berkecimpung di dunia politik. Dalam konteks ini, gerakan feminisme di Indonesia masih harus melakukan pendampingan, advokasi, dan proses pendidikan politik agar kaum perempuan sadar akan hak-haknya.
Kebebasan memang seringkali tidak terpisah dengan emansipasi perempuan. Seorang feminis kelahiran Calcutta India, Gayatri Spivak, melontarkan sebuah pertanyaan kritis, apakah kaum perempuan dapat berbicara juga dalam wacana kebebasan?dari pertanyaan ini , kita bisa memahami sebuah pernyataan bahwa kaum perempuan sering mengkritik sejarah dominan, yang terfokus pada peranan laki-laki. Kata kebebasan memang seringkali muncul pada surat-surat Kartini yang menyatakan hubungannya dengan emansipasi, khusunya berkenaan dengan posisi perempuan bumiputera.
Kartini sangat menentang diskriminasi terhadap perempuan, suratnya tertanggal 23 Agustus 1900, mempermasalahkan hal ini, “… yang pertama dan utama, aku menghapus adat kebiasaan buruk yang memihak anak laki-laki daripada anak perempuan. Kita tidak seharusnya terkejut akan sifat laki-laki yang memikirkan diri sendiri saat kita menyadari bagaimana, sejak kecil dia sudah dimenangkan dari perempuan, adiknya…”. Dari hal ini sedikit dapat diperoleh kejelasan bahwa the power of man (kekuasaan laki-laki) secara tidak langsung telah dikenalkan melalui pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Kaum laki-laki secara tidak disadari lebih dikenalkan keluarga dengan permainan yang bersifat keras dan pendekatan-pendekatan yang mengarah pada publik, seperti bermain tembak menembak dan hal-hal yang seringkali mengarah pada adu fisik. Sedangkan kaum perempuan yang didentitaskan dengan kelembutan memang sudah dicap sebagai makhluk yang harus dilindungi dan tidak diperkenankan berhubungan dengan hal-hal yang berbau kelaki-lakian.
Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Perempuan untuk tugas-tugas itu tidak dibedakan dari laki-laki. Tuhan memberikan kepada mereka laki-laki dan perempuan, potensi-potensi dan “al-ahliyah” atau kemampuan-kemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci menegaskan keharusan saling kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas keagamaan, menyerukan kebaikan dan menghapuskan kerusakan sosial.
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran politik domestik maupun publik bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri nabi lain adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkhis.
Kita dapat mendefinisikan konsep partisipasi politik sebagai suatu kehendak individu untuk bertindak sedemikian rupa dalam rangka meraih, baik secara individual maupun kolektif, kekuasaan untuk memerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara legislative dan administrative. Mereka yang terlibat partisipasi politik mampu memberikan persetujuan atau kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Sejauh hukum syariat tidak mengingkari peran perempuan dalam masyarakat dan mendelegasikan mereka posisi yang netral dan sejauh al-Qur`an dan Sunnah menyuarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik. Perempuan bebas mengekspresikan pandangannya dan memberikan persetujuan atau kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Dimensi-dimensi Partisipasi Sosial-Politik Perempuan
§ Menentukan Masa Depan Bangsa
Kaum perempuan memiliki peran yang luas dalam semua aktifitas politik. Meskipun begitu, kita masih menemukan sebuah pendirian, yang dipegang banyak kalangan ahli fiqih yang melarang perempuan terlibat dalam jenis aktivitas yang baik ini, serta membatasi peran perempuan hanya dalam lingkup keluarga dan pendidikan anak.
§ Partisipasi dalam Pemerintahan
Kita perlu mengingat lagi tentang kemenangan revolusi Islam-Iran, meskipun ditengah ketiadaan sebuah majelis publik yang diakui pada tempat dan waktu kemenangan tersebut, namun bisa menciptakan aktivitas-aktivitas partsipasi politik yang dimotivasi dari dalam. Diantara yang paling dikenal adalah mereka yang aktif dalam badan-badan perwakilan dan organisasi –organisassi local non-pemerintahan.
§ Keterlibatan dalam Pengawasan Sosial
Dalam pandangan Imam Khomeini, kesalehan suatu masyarakatsangat bergantung pada kebaikan atau kerusakan kaum perempuan. Landasan pembangunan social didasarkan atas ststus kaum perempuan, dan pembangunan sosial, dengan sendirinya berada ditangan mereka.perempuan dapat dipandang sebagai pemimpin-pemimpin yang sah dari masyarakat dalam setiap komunitas.
Berdasarkan sudut pandang Imam Khomeini, tanggungjawab pendidikan masyarakat tersembunyi dalam genggaman tangan kaum perempuan, baik di ranah kebudayaan maupun perubahan sosial.
Reduksi Partisipasi Politik Kaum Perempuan
Dalam perjalanan sejarah politik kaum perempuan yang berpartisipasi terhadap politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan-pembatasan ini bukan hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial. Secara umum alasan yang digunakan bagi peminggiran sekaligus pemingitan perempuan ini adalah bahwa pada umumnya kaum perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan kehadiran mereka ditempat umum dipandang sebagai sumber godaan (dalam bahasa Arab, sering disebut “fitnah”), memotivasi dan menstimulasi konflik sosial.
Masalah Kuota Perempuan
Sedikitnya jumlah perempuan yang terjun dalam kancah politik melahirkan ide kuota perempuan. Berdasarkan hal ini maka para aktivis perempuan menjadikan perjuangan politik mereka terfokus pada tiga hal yaitu, seputar kepemimpinan wanita dalam kekuasaan, tuntutan kuota perempuan dalam parlemen, dan tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu. Dari tiga isu ini menurut logika mereka besarnya akses ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi inilah yang akan menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat kea rah yang lebih equal dan egaliter. Dalam keadaan struktur masyarakat yang demikian, aspirasi perempuan dipastikan akan mewarnai setiap kebijakan publik dan menjadi solusi atas permasalahan krusial yang dihadapi perempuan.
Masalah kuota ini melahirkan pro dan kontra, kalangan yang pro berpendapat bahwa kuota akan berpihak pada perempuan, menghilangkan hambatan yang mencegah perempuan terlibat dalam posisi politik dan anggapan yang berpengalaman dalam menyelesaikan masalah perempuan adalah perempuan itu sendiri. Mereka juga menganggap perempuan dinilai rendah dalam sistem politik yang didominasi oleh kaum Adam. Sebaliknya kalangan yang kontra berpendapat bahwa kuota bertentangan dengan prinsip kesetaraan bagi semua, menuntut kuota berarti kurang yakin akan dirinya malah akan merendahkan harkat dan martabat perempuan karena dianggap kurang layak menduduki posisi kekuasaan.
Kuota perempuan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik yang memberi kebebasan berpendapat, kepemilikan, tingkah laku, beragama. Ini dimanfaatkan oleh kaum feminis untuk memberikan dorongan pada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya sebagai ibu pengurus rumah tangga yang tidak menghasilkan uang dan bergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga selalu menjadi obyek ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Untuk itu mereka meyerukan agar perempuan beramai-ramai terjun ke kancah publik demi memperjuangkan hak-haknya. Tapi pertanyaan yang muncul adalah relevankah penyelesaian permasalahan perempuan di segala aspek kehidupan akan terwujud dengan tercapainya kuota 30 persen perempuan di parlemen? Kalau kita telusuri lebih jauh bahwa permasalahan perempuan tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan lintas sektoral yang ada dalam sistem negara. Contohnya walaupun banyak perempuan yang duduk di kursi parlemen ternyata sampai saat ini bukan berarti masalah perempuan selesai tapi malah kondisi perempuan semakin terpuruk dengan semakin merebaknya pergaulan bebas, tingginya PSK yang notabene dominasi perempuan, runtuhnya struktur sosial dan keluarga, dilema wanita karir, anak-anak yang bermasalah dan sebagainya yang merupakan buah dari ide feminis ini. Inilah yang namanya menyelesaikan masalah dengan masalah. Sehingga kuota perempuan 30 persen bukan merupakan jaminan permasalahan perempuan yang kompleks akan terselesaikan dengan tuntas. Oleh karena itu masalahnya bukan terletak bahwa ini masalah perempuan tapi masalah perempuan adalah bagian kecil dari seluruh masalah yang saling terkait dengan aturan apa yang dipakai oleh negara itu untuk menyelesaikannya.
Kuota perempuan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik yang memberi kebebasan berpendapat, kepemilikan, tingkah laku, beragama. Ini dimanfaatkan oleh kaum feminis untuk memberikan dorongan pada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya sebagai ibu pengurus rumah tangga yang tidak menghasilkan uang dan bergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga selalu menjadi obyek ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Untuk itu mereka meyerukan agar perempuan beramai-ramai terjun ke kancah publik demi memperjuangkan hak-haknya.
Pandangan Islam terhadap Kiprah Politik Perempuan
Berkaitan dengan posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politik dalam system dan konsep Islam telah banyak pendapat diungkapkan. Ada yang berpendapat bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Ada yang berpendapat bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik perempuan kecuali menjadi pemimpin Negara. Ada yang memandang sama antara perempuan dan laki-laki. Meskipun banyak ulama yang berbeda pendapat akan politik perempuan yang berdasarkan atas asumsi masing-masing.
Sebagaimana pendapat yang tidak mengakui adalah berpacu pada hadits nabi, “tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan”. Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan umum apapun. Mereka merujukkan larangan ini pada emosi perempuan dan sifat-sifat kodratnya yang menjadikannya tidak mampu mengambil keputusan. Selai itu perempuan tidak memiliki kemauan yang teguh dalam masalah-masalah penting.
Adapun pihak yang berpendapat kiprah politik perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berargumen dengan firman Allah SWT : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan” (QS. An Nisa` : 34). Ayat ini ditafsirkan, bahwa kepemimpinan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah kepemimpinan suami untuk mendidik istrinya yang nusyuz. Hal ini dapat diketahui dari asbabun Nuzul ayat ini. Berkenaan dengan kasus istri Sa`ad bin al-Rabi yang tidak taat kepada susaminya. Lalu Sa`ad menamparnya. Maka istrinya mengadu pada Nabi Muhammad. Kemudian beliau memerintahkan agar ia menjauhi suaminya. Ayat tersebut turun karena sesbsb khusus yaitu berkenaan dengan masalah keluarga, dan tidak ada kaitan dengan keterlibatan perempuan dalam hak-hak politik.
Sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, Islam memiliki pandangan yang khas yang berbeda dengan demokrasi dalam menyelesaikan masalah perempuan termasuk kiprah politik perempuan dalam masyarakat. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki itu sama yaitu mempunyai akal, naluri dan kebutuhan fisik.
Dan Islam juga memandang bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memperbaiki masyarakat, walaupun secara kodrati ada kewajiban-kewajiban yang khas hanya untuk perempuan seperti mengandung, melahirkan, menyusui dan ada juga kewajiban utama bagi laki-laki yaitu mencari nafkah bagi keluarga.
Islam juga mengharuskan perempuan untuk memiliki kesadaran politik dan membolehkan perempuan berkiprah dalam politik tanpa melupakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tetapi yang harus dipahami adalah pengertian politik dalam Islam tidak terbatas hanya masalah kekuasaan dan legislasi tapi pengaturan seluruh urusan umat baik dalam dan luar negeri tanpa membedakan apakah itu masalah yang menimpa perempuan atau laki-laki melainkan dianggap sebagai masalah umat yang harus diselesaikan bersama. Hanya saja ada aturan dalam Islam yang tidak membolehkan perempuan duduk dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan) sesuai dengan Nabi SAW: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para wanita” (HR. Bukhari Muslim). Dari sini semakin jelas masalahnya bukan terletak pada terpenuhinya kuota perempuan 30 persen atau tidak tapi lebih kepada aturan siapa yang dijadikan pemecah permasalahan umat, apakah aturan manusia atau aturan yang menciptakan manusia.
Seruan Allah dalam hal aktivitas perempuan di dunia publik secara umum mempunyai implikasi pada hukum yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu manusia. Islam menetapkan hukum yang sama antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma`ruf nahi munkar), kewajiban menuntut ilmu, serta menunaikan kewajiban ibadah ritual. Demikian pula islam mengizinkan wanita melakukan jual-beli, sewa menyewa dan akad perwakilan. Wanita mempunyai hak memegang segala macam hak milik, dan baginya boleh mengembangkan hartanya dan mengatur secara langsung segala urusan kehidupannya.
Dari sekian banyak peran, tugas sekaligus aktivitas yang bisa atau perlua digeluti perempuan sebagai anggota masyarakat, tentunya pilihan seorang muslimah juga akan didasarkan semata-mata pada ketentuan syara`. Seperti halnya peran politik utama perempuan adalah melakukan proses perubahan menuju tegaknya sistem Islam.
Perempuan Indonesia Membangun Masa Depan
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD 1945. Terlepas masih ada sejuta persoalan diskriminasi terhadap perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah dicapai. Proses kemajuan bagi perempuanakan terus berlanjut.
Kita tengah menyaksikan gerak kaum perempuan Indonesia membangun masa depannya untuk sebuah masa depan bangsa yang lebih adil. Kehadiran perempuan secara lebih massif dalam panggung politik struktural diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan-kebijakan negara yang dapat memberdayakan kaumnya, menghapus kultur diskriminasi dan menghentikan kekerasan terhadap mereka yang masih terus berlangsung di ruang keluarga maupun social. Kemampuan perempuan dalam kerja-kerja politik tentu akan diuji oleh sejarah.
KESIMPULAN
Sebab-sebab dan struktur-struktur yang menjadi penyebab kurangnya partisipasi sosial politik kaum perempuan, baik pada skala makro dan mikro. Pada skala makro, mengenai kondisi social politik yang melumpuhkan motivasi berpartisipasi yang terbentuk dalam suatu cara sehingga masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif. Pada skala mikro, problem utamanya yaitu, kurangnya kepercayaan diri kaum perempuan sendiri terhadap kemampuannya. Dan alas an dibalik ketidakpercayaan ini terletak pada pendidikan mereka dalam lingkungan keluarga masing-masing.
Keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan sampai seinggi-tingginya telah melahirkan kemampuan (al-Ahliyah) mereka dalam segala urusan yang sebelumnya diklaim hanya menjadi milik laki-laki. Persepsi tendensius bahwa kaum perempuan kurang rasional, lebih emosional dan kurang kompeten menengani urusan domestic maupun public disbanding kaum laki-laki telah gugur dan tidak lagi popular. Perempuan-perempuan muncul dalam ruang-ruang sosial, politik, ekonomi dan budaya berdampingan secara sinergis dengan kaum laki-laki. Meski masih belum cukup proporsional (adil) tetapi cita-cita perempuan untuk memebangun masa depannya semakin terbuka lebar.
REFERENSI
Michael A.Riff , Kamus Ideologi Politik Modern, 1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ali Usman, Kebebasan dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama, 2006. Yogyakarta: Nuansa Aksara
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam.2004. Jakarta : Gema Insani Press
KH. Husein Muhammad. Islam agama ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren).2004.Yogyakarta: LKiS
Ali Hosein Al Hakim. Membela Perempuan, Menakar Feminisme dengan Nalar Agama. 2005. Jakarta: Al Huda. Penerjemah : AH. Sunolo Gembolo.
Ikhwan Fauzi. Perempuan dan Kekuasaan; Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender. Yogyakarta: Penerbit Amzah
Latar Belakang
Menurut laporan Monitoring Program Education For All (EFA) UNESCO tahun 2008, Indonesia?yang termasuk negara-negara berpenduduk terbesar di dunia setelah Bangladesh dan China?bakal mampu meraih tujuan kesetaraan gender pada tahun 2015. Laporan EFA UNESCO baru-baru ini jelas memiliki relevansi dengan iklim perpolitikan di Indonesia yang mulai berbenah. Pemberlakuan kuota 30% dalam Undang-undang Partai Politik (UU Parpol) dan Undang-undang Pemilihan Umum (UU Pemilu) baru-baru ini merupakan sebuah indikasi bahwa peta perpolitikan di Indonesia sudah mulai menempatkan posisi bagi kaum perempuan. Namun yang patut dipertanyakan, sejauhmana kesiapan kaum perempuan sendiri dalam menghadapi tuntutan ini?
Di Indonesia, gerakan feminisme sudah merambah ke wilayah politik. Isu kesetaraan gender mulai merebak di Indonesia pada sekitar tahun 1990-an. Secara perlahan-lahan, gerakan feminisme menuntut kesetaraan kaum perempuan di Indonesia untuk mendapat hak-hak di bidang sosial dan budaya. Namun lambat laun, seiring dengan bergulirnya reformasi (1998), gerakan feminisme mulai merambah wilayah politik kekuasaan. Sebab, berdasarkan catatan sejarah bangsa Indonesia, peran kaum perempuan sangat minim di pentas politik. Padahal, jumlah kaum perempuan mendominasi kaum laki-laki di Indonesia. Wajar jika kemudian kaum perempuan menuntut kesetaraan di bidang politik (kekuasaan). (/www.menegpp.go.id)
PEREMPUAN DAN KEBEBASAN BERPOLITIK
Menurut Ramlan Subekti terdapat sekurang kurangnya lima pengertian tentang politik, yaitu sebagai berikut :
§ Usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kehidupan bersama
§ Segala hak yang berkaitan dengan penyelenggaraan Negara dan pemerintahan
§ Segala hak yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.
§ Kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum
§ Politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertahankan sumebr yang dianggap penting
Sedangkan, kata perempuan sendiri mempunyai akar kata, yaitu “empu”, arti idealnya yakni seorang guru kehidupan. Tapi dalam realitasnya, banyak orang mengidentikkan kaum perempuan selalu dengan stereotip 3 M (macak/dandan, masak, dan manak/melahirkan), 3 ur (dapur, sumur, kasur), 5 ah yaitu, tunggu omah, olah-olah, momong bocah, asah-asah, mlumah (jaga rumah, memasak, mengasuh anak, mencuci, dan melayani suami). Kalau begitu adanya, bagaimana dengan pepatah lama, surga ada ditelapak kaki ibu?. Disini nyata adanya gender inequalities culture-budaya ketidakadilan gender yang sudah mentradisi.
Di lain matra, sebetulnya ada perbedaan mencolok antara kekuasaan lelaki dan perempuan. Kekuasaan pria itu power over, sifatnya merusak-menindas, sedangkan kekuasaan perempuan itu power to, membagi dan konstruktif. Idealnya, seorang perempuan mempunyai tempat dalam masyarakat, bukan selalu karena keperempuannya yang khas, tapi karena kepribadiannya sebagai seorang manusia dan warga masyarakat. Dan lebih penting lagi karena nilai dari tugas-tugas bermanfaat yang berhasil diseleseikannya.
Menurut Romo Mangun, esensi perempuan ada pada rahim dan sikap serta cita rasanya menghadapi suami, anak-anak dan kehidupannya. Kerahiman perempuan adalah salah satu lambang religiositas, karena rahim itu mengemban dan menumbuhkan benih kehidupan. Jelas bahwa kaum perempuan adalah roh pengemban kehidupan.
Perjuangan para aktivis feminisme di Indonesia bukannya tidak mendapat rintangan yang berarti. Dalam garis besarnya, tantangan yang dihadapi para aktivis feminisme di Indonesia berasal dari faktor eksternal dan internal. Faktor-faktor eksternal yang menjadi penghambat gerakan feminisme di Indonesia meliputi: pertama, dominasi budaya patriarkhi di Indonesia. Sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi. Padahal, untuk mengubah pola pikir yang bias gender butuh proses yang lama. Bahkan, menurut penulis, proses ini tidak akan cukup sampai melewati satu generasi.
Kedua, pemahaman agama yang bias gender. Khususnya umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Secara umum umat Islam di Indonesia menganut sistem sosial dan budaya patriarkhi. Inilah yang sampai saat ini menjadi perdebatan di kalangan cendekiawan Muslim. Sebab, sejarah kelahiran agama Islam memang mengambil setting historis dan budaya gurun pasir yang sangat kuat berpegang pada sistem sosial dan budaya patriarkhi (Arab). Jika memahami kitab suci Al-Qur?an tanpa metodologi dan pemahaman sistem sosial, budaya, dan politik yang memadai, maka kecenderungan untuk mereduksi pesan-pesan wahyu secara keliru semakin besar. Sebab, secara tekstual, pesan-pesan dalam kitab suci jelas lebih menempatkan dominasi kaum laki-laki. Tetapi, secara kontekstual, ajaran-ajaran Islam menempatkan kaum perempuan dalam posisi setara dengan kaum laki-laki.
Ketiga, kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak mendukung kaum perempuan. Pasca reformasi, iklim kebebasan berekspresi di negeri ini mendapat jaminan penuh dalam system pemerintahan demokratis. Tetapi sayang jabatan-jabatan politik lebih banyak diisi oleh kaum laki-laki. Hal inilah yang kemudian mendorong para aktivis feminisme untuk memperjuangkan hak-hak kaumnya.
Tampaknya, perjuangan ini membuahkan hasil ketika undang-undang yang mengatur keterlibatan kaum perempuan dalam politik kekuasaan berhasil disahkan. Quota 30% dalam UU No. 12 Tahun 2003, khususnya pada pasal 65, telah memberi ruang bagi partisipasi aktif kaum perempuan di Indonesia. Undang-undang yang menjamin keterlibatan kaum perempuan di pentas politik sudah disahkan, tetapi tantangan berat masih menghambat gerakan feminisme di Indonesia. Menurut para aktivis feminisme, UU No. 12 Tahun 2003 merupakan kebijakan setengah hati. Sebab, budaya patriarkhi masih kuat mengganjal laju gerakan feminisme untuk mewujudkan keadilan di bidang politik bagi kaum perempuan. Di samping itu, pola pikir umat Islam masih belum bisa menerima sepak-terjang kaum perempuan di pentas politik.
Selain faktor eksternal yang menghambat gerakan feminisme di Indonesia, faktor internal juga menjadi catatan tersendiri. Sampai saat ini, kaum perempuan di Indonesia belum sadar terhadap hak-hak politik mereka. Masih terdapat stigma bahwa politik itu kotor sehingga kaum perempuan enggan memasukinya. Di samping itu, mereka juga masih menganggap perempuan tidak layak berkecimpung di dunia politik. Dalam konteks ini, gerakan feminisme di Indonesia masih harus melakukan pendampingan, advokasi, dan proses pendidikan politik agar kaum perempuan sadar akan hak-haknya.
Kebebasan memang seringkali tidak terpisah dengan emansipasi perempuan. Seorang feminis kelahiran Calcutta India, Gayatri Spivak, melontarkan sebuah pertanyaan kritis, apakah kaum perempuan dapat berbicara juga dalam wacana kebebasan?dari pertanyaan ini , kita bisa memahami sebuah pernyataan bahwa kaum perempuan sering mengkritik sejarah dominan, yang terfokus pada peranan laki-laki. Kata kebebasan memang seringkali muncul pada surat-surat Kartini yang menyatakan hubungannya dengan emansipasi, khusunya berkenaan dengan posisi perempuan bumiputera.
Kartini sangat menentang diskriminasi terhadap perempuan, suratnya tertanggal 23 Agustus 1900, mempermasalahkan hal ini, “… yang pertama dan utama, aku menghapus adat kebiasaan buruk yang memihak anak laki-laki daripada anak perempuan. Kita tidak seharusnya terkejut akan sifat laki-laki yang memikirkan diri sendiri saat kita menyadari bagaimana, sejak kecil dia sudah dimenangkan dari perempuan, adiknya…”. Dari hal ini sedikit dapat diperoleh kejelasan bahwa the power of man (kekuasaan laki-laki) secara tidak langsung telah dikenalkan melalui pendidikan yang diterapkan dalam keluarga. Kaum laki-laki secara tidak disadari lebih dikenalkan keluarga dengan permainan yang bersifat keras dan pendekatan-pendekatan yang mengarah pada publik, seperti bermain tembak menembak dan hal-hal yang seringkali mengarah pada adu fisik. Sedangkan kaum perempuan yang didentitaskan dengan kelembutan memang sudah dicap sebagai makhluk yang harus dilindungi dan tidak diperkenankan berhubungan dengan hal-hal yang berbau kelaki-lakian.
Perempuan adalah makhluk Tuhan seperti juga laki-laki. Sebagai hamba Tuhan ia juga memiliki tanggungjawab kemanusiaan, memakmurkan bumi dan mensejahterakan manusia. Perempuan untuk tugas-tugas itu tidak dibedakan dari laki-laki. Tuhan memberikan kepada mereka laki-laki dan perempuan, potensi-potensi dan “al-ahliyah” atau kemampuan-kemampuan untuk bertindak secara otonom yang diperlukan bagi tanggungjawab menunaikan amanah tersebut. Tidak sedikit teks-teks suci menegaskan keharusan saling kerjasama laki-laki dan perempuan untuk tugas keagamaan, menyerukan kebaikan dan menghapuskan kerusakan sosial.
Sejarah kenabian mencatat sejumlah besar perempuan yang ikut memainkan peran-peran politik domestik maupun publik bersama kaum laki-laki. Khadijah, Aisyah, Ummu Salamah, dan para istri nabi lain adalah perempuan-perempuan terkemuka yang cerdas. Mereka sering terlibat dalam diskusi-diskusi tentang tema-tema sosial dan politik bahkan mengkritik kebijakan-kebijakan domestik maupun publik yang patriarkhis.
Kita dapat mendefinisikan konsep partisipasi politik sebagai suatu kehendak individu untuk bertindak sedemikian rupa dalam rangka meraih, baik secara individual maupun kolektif, kekuasaan untuk memerintah. Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara legislative dan administrative. Mereka yang terlibat partisipasi politik mampu memberikan persetujuan atau kritik terhadap kebijakan pemerintah.
Sejauh hukum syariat tidak mengingkari peran perempuan dalam masyarakat dan mendelegasikan mereka posisi yang netral dan sejauh al-Qur`an dan Sunnah menyuarakan kesetaraan gender dalam ruang sosial, perempuan memiliki hak untuk berpartisipasi dalam ruang politik. Perempuan bebas mengekspresikan pandangannya dan memberikan persetujuan atau kritiknya terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Dimensi-dimensi Partisipasi Sosial-Politik Perempuan
§ Menentukan Masa Depan Bangsa
Kaum perempuan memiliki peran yang luas dalam semua aktifitas politik. Meskipun begitu, kita masih menemukan sebuah pendirian, yang dipegang banyak kalangan ahli fiqih yang melarang perempuan terlibat dalam jenis aktivitas yang baik ini, serta membatasi peran perempuan hanya dalam lingkup keluarga dan pendidikan anak.
§ Partisipasi dalam Pemerintahan
Kita perlu mengingat lagi tentang kemenangan revolusi Islam-Iran, meskipun ditengah ketiadaan sebuah majelis publik yang diakui pada tempat dan waktu kemenangan tersebut, namun bisa menciptakan aktivitas-aktivitas partsipasi politik yang dimotivasi dari dalam. Diantara yang paling dikenal adalah mereka yang aktif dalam badan-badan perwakilan dan organisasi –organisassi local non-pemerintahan.
§ Keterlibatan dalam Pengawasan Sosial
Dalam pandangan Imam Khomeini, kesalehan suatu masyarakatsangat bergantung pada kebaikan atau kerusakan kaum perempuan. Landasan pembangunan social didasarkan atas ststus kaum perempuan, dan pembangunan sosial, dengan sendirinya berada ditangan mereka.perempuan dapat dipandang sebagai pemimpin-pemimpin yang sah dari masyarakat dalam setiap komunitas.
Berdasarkan sudut pandang Imam Khomeini, tanggungjawab pendidikan masyarakat tersembunyi dalam genggaman tangan kaum perempuan, baik di ranah kebudayaan maupun perubahan sosial.
Reduksi Partisipasi Politik Kaum Perempuan
Dalam perjalanan sejarah politik kaum perempuan yang berpartisipasi terhadap politik perempuan mengalami proses degradasi dan reduksi secara besar-besaran. Ruang aktivitas perempuan dibatasi hanya pada wilayah domestik dan diposisikan secara subordinat. Pembatasan-pembatasan ini bukan hanya terbaca dalam buku-buku pelajaran, tetapi juga muncul dalam realitas sosial. Secara umum alasan yang digunakan bagi peminggiran sekaligus pemingitan perempuan ini adalah bahwa pada umumnya kaum perempuan dipandang sebagai pemicu hubungan seksual yang terlarang dan kehadiran mereka ditempat umum dipandang sebagai sumber godaan (dalam bahasa Arab, sering disebut “fitnah”), memotivasi dan menstimulasi konflik sosial.
Masalah Kuota Perempuan
Sedikitnya jumlah perempuan yang terjun dalam kancah politik melahirkan ide kuota perempuan. Berdasarkan hal ini maka para aktivis perempuan menjadikan perjuangan politik mereka terfokus pada tiga hal yaitu, seputar kepemimpinan wanita dalam kekuasaan, tuntutan kuota perempuan dalam parlemen, dan tuntutan independensi hak suara perempuan dalam pemilu. Dari tiga isu ini menurut logika mereka besarnya akses ke dalam lingkaran kekuasaan dan legislasi inilah yang akan menjadi jalan bagi munculnya perubahan struktur masyarakat kea rah yang lebih equal dan egaliter. Dalam keadaan struktur masyarakat yang demikian, aspirasi perempuan dipastikan akan mewarnai setiap kebijakan publik dan menjadi solusi atas permasalahan krusial yang dihadapi perempuan.
Masalah kuota ini melahirkan pro dan kontra, kalangan yang pro berpendapat bahwa kuota akan berpihak pada perempuan, menghilangkan hambatan yang mencegah perempuan terlibat dalam posisi politik dan anggapan yang berpengalaman dalam menyelesaikan masalah perempuan adalah perempuan itu sendiri. Mereka juga menganggap perempuan dinilai rendah dalam sistem politik yang didominasi oleh kaum Adam. Sebaliknya kalangan yang kontra berpendapat bahwa kuota bertentangan dengan prinsip kesetaraan bagi semua, menuntut kuota berarti kurang yakin akan dirinya malah akan merendahkan harkat dan martabat perempuan karena dianggap kurang layak menduduki posisi kekuasaan.
Kuota perempuan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik yang memberi kebebasan berpendapat, kepemilikan, tingkah laku, beragama. Ini dimanfaatkan oleh kaum feminis untuk memberikan dorongan pada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya sebagai ibu pengurus rumah tangga yang tidak menghasilkan uang dan bergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga selalu menjadi obyek ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Untuk itu mereka meyerukan agar perempuan beramai-ramai terjun ke kancah publik demi memperjuangkan hak-haknya. Tapi pertanyaan yang muncul adalah relevankah penyelesaian permasalahan perempuan di segala aspek kehidupan akan terwujud dengan tercapainya kuota 30 persen perempuan di parlemen? Kalau kita telusuri lebih jauh bahwa permasalahan perempuan tidak berdiri sendiri tetapi terkait dengan lintas sektoral yang ada dalam sistem negara. Contohnya walaupun banyak perempuan yang duduk di kursi parlemen ternyata sampai saat ini bukan berarti masalah perempuan selesai tapi malah kondisi perempuan semakin terpuruk dengan semakin merebaknya pergaulan bebas, tingginya PSK yang notabene dominasi perempuan, runtuhnya struktur sosial dan keluarga, dilema wanita karir, anak-anak yang bermasalah dan sebagainya yang merupakan buah dari ide feminis ini. Inilah yang namanya menyelesaikan masalah dengan masalah. Sehingga kuota perempuan 30 persen bukan merupakan jaminan permasalahan perempuan yang kompleks akan terselesaikan dengan tuntas. Oleh karena itu masalahnya bukan terletak bahwa ini masalah perempuan tapi masalah perempuan adalah bagian kecil dari seluruh masalah yang saling terkait dengan aturan apa yang dipakai oleh negara itu untuk menyelesaikannya.
Kuota perempuan ini sangat dipengaruhi oleh pemikiran demokrasi kapitalistik yang memberi kebebasan berpendapat, kepemilikan, tingkah laku, beragama. Ini dimanfaatkan oleh kaum feminis untuk memberikan dorongan pada kaum perempuan untuk keluar dari habitat aslinya sebagai ibu pengurus rumah tangga yang tidak menghasilkan uang dan bergantung secara ekonomi pada laki-laki sehingga selalu menjadi obyek ketertindasan dalam rumah tangga dan tidak mempunyai posisi tawar yang kuat. Untuk itu mereka meyerukan agar perempuan beramai-ramai terjun ke kancah publik demi memperjuangkan hak-haknya.
Pandangan Islam terhadap Kiprah Politik Perempuan
Berkaitan dengan posisi perempuan dalam memperoleh hak-hak politik dalam system dan konsep Islam telah banyak pendapat diungkapkan. Ada yang berpendapat bahwa Islam tidak mengakui hak-hak politik bagi perempuan. Ada yang berpendapat bahwa Islam menetapkan dan mengakui hak-hak politik perempuan kecuali menjadi pemimpin Negara. Ada yang memandang sama antara perempuan dan laki-laki. Meskipun banyak ulama yang berbeda pendapat akan politik perempuan yang berdasarkan atas asumsi masing-masing.
Sebagaimana pendapat yang tidak mengakui adalah berpacu pada hadits nabi, “tidak akan berjaya suatu kaum yang menyerahkan urusan kepada perempuan”. Dari hadits ini dapat disimpulkan bahwa perempuan tidak boleh menduduki jabatan umum apapun. Mereka merujukkan larangan ini pada emosi perempuan dan sifat-sifat kodratnya yang menjadikannya tidak mampu mengambil keputusan. Selai itu perempuan tidak memiliki kemauan yang teguh dalam masalah-masalah penting.
Adapun pihak yang berpendapat kiprah politik perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, berargumen dengan firman Allah SWT : “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan” (QS. An Nisa` : 34). Ayat ini ditafsirkan, bahwa kepemimpinan yang disebutkan dalam ayat tersebut adalah kepemimpinan suami untuk mendidik istrinya yang nusyuz. Hal ini dapat diketahui dari asbabun Nuzul ayat ini. Berkenaan dengan kasus istri Sa`ad bin al-Rabi yang tidak taat kepada susaminya. Lalu Sa`ad menamparnya. Maka istrinya mengadu pada Nabi Muhammad. Kemudian beliau memerintahkan agar ia menjauhi suaminya. Ayat tersebut turun karena sesbsb khusus yaitu berkenaan dengan masalah keluarga, dan tidak ada kaitan dengan keterlibatan perempuan dalam hak-hak politik.
Sebagai agama yang sempurna dan menyeluruh, Islam memiliki pandangan yang khas yang berbeda dengan demokrasi dalam menyelesaikan masalah perempuan termasuk kiprah politik perempuan dalam masyarakat. Islam memandang bahwa perempuan dan laki-laki itu sama yaitu mempunyai akal, naluri dan kebutuhan fisik.
Dan Islam juga memandang bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai tanggung jawab yang sama untuk memperbaiki masyarakat, walaupun secara kodrati ada kewajiban-kewajiban yang khas hanya untuk perempuan seperti mengandung, melahirkan, menyusui dan ada juga kewajiban utama bagi laki-laki yaitu mencari nafkah bagi keluarga.
Islam juga mengharuskan perempuan untuk memiliki kesadaran politik dan membolehkan perempuan berkiprah dalam politik tanpa melupakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Tetapi yang harus dipahami adalah pengertian politik dalam Islam tidak terbatas hanya masalah kekuasaan dan legislasi tapi pengaturan seluruh urusan umat baik dalam dan luar negeri tanpa membedakan apakah itu masalah yang menimpa perempuan atau laki-laki melainkan dianggap sebagai masalah umat yang harus diselesaikan bersama. Hanya saja ada aturan dalam Islam yang tidak membolehkan perempuan duduk dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan) sesuai dengan Nabi SAW: ”Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para wanita” (HR. Bukhari Muslim). Dari sini semakin jelas masalahnya bukan terletak pada terpenuhinya kuota perempuan 30 persen atau tidak tapi lebih kepada aturan siapa yang dijadikan pemecah permasalahan umat, apakah aturan manusia atau aturan yang menciptakan manusia.
Seruan Allah dalam hal aktivitas perempuan di dunia publik secara umum mempunyai implikasi pada hukum yang berkaitan dengan wanita dalam kedudukannya sebagai individu manusia. Islam menetapkan hukum yang sama antara pria dan wanita dalam masalah kewajiban berdakwah (amar ma`ruf nahi munkar), kewajiban menuntut ilmu, serta menunaikan kewajiban ibadah ritual. Demikian pula islam mengizinkan wanita melakukan jual-beli, sewa menyewa dan akad perwakilan. Wanita mempunyai hak memegang segala macam hak milik, dan baginya boleh mengembangkan hartanya dan mengatur secara langsung segala urusan kehidupannya.
Dari sekian banyak peran, tugas sekaligus aktivitas yang bisa atau perlua digeluti perempuan sebagai anggota masyarakat, tentunya pilihan seorang muslimah juga akan didasarkan semata-mata pada ketentuan syara`. Seperti halnya peran politik utama perempuan adalah melakukan proses perubahan menuju tegaknya sistem Islam.
Perempuan Indonesia Membangun Masa Depan
Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, status yang setara bagi perempuan dan peluang mereka dalam aktivitas-aktivitas politik sesungguhnya telah mendapat dasar yuridis dalam UUD 1945. Terlepas masih ada sejuta persoalan diskriminasi terhadap perempuan, sejumlah kemajuan atas status perempuan telah dicapai. Proses kemajuan bagi perempuanakan terus berlanjut.
Kita tengah menyaksikan gerak kaum perempuan Indonesia membangun masa depannya untuk sebuah masa depan bangsa yang lebih adil. Kehadiran perempuan secara lebih massif dalam panggung politik struktural diharapkan akan mampu merumuskan kebijakan-kebijakan negara yang dapat memberdayakan kaumnya, menghapus kultur diskriminasi dan menghentikan kekerasan terhadap mereka yang masih terus berlangsung di ruang keluarga maupun social. Kemampuan perempuan dalam kerja-kerja politik tentu akan diuji oleh sejarah.
KESIMPULAN
Sebab-sebab dan struktur-struktur yang menjadi penyebab kurangnya partisipasi sosial politik kaum perempuan, baik pada skala makro dan mikro. Pada skala makro, mengenai kondisi social politik yang melumpuhkan motivasi berpartisipasi yang terbentuk dalam suatu cara sehingga masyarakat untuk berpartisipasi secara efektif. Pada skala mikro, problem utamanya yaitu, kurangnya kepercayaan diri kaum perempuan sendiri terhadap kemampuannya. Dan alas an dibalik ketidakpercayaan ini terletak pada pendidikan mereka dalam lingkungan keluarga masing-masing.
Keterbukaan ruang bagi perempuan untuk mengikuti pendidikan sampai seinggi-tingginya telah melahirkan kemampuan (al-Ahliyah) mereka dalam segala urusan yang sebelumnya diklaim hanya menjadi milik laki-laki. Persepsi tendensius bahwa kaum perempuan kurang rasional, lebih emosional dan kurang kompeten menengani urusan domestic maupun public disbanding kaum laki-laki telah gugur dan tidak lagi popular. Perempuan-perempuan muncul dalam ruang-ruang sosial, politik, ekonomi dan budaya berdampingan secara sinergis dengan kaum laki-laki. Meski masih belum cukup proporsional (adil) tetapi cita-cita perempuan untuk memebangun masa depannya semakin terbuka lebar.
REFERENSI
Michael A.Riff , Kamus Ideologi Politik Modern, 1995, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ali Usman, Kebebasan dalam Perbincangan Filsafat, Pendidikan dan Agama, 2006. Yogyakarta: Nuansa Aksara
Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam.2004. Jakarta : Gema Insani Press
KH. Husein Muhammad. Islam agama ramah Perempuan (Pembelaan Kiai Pesantren).2004.Yogyakarta: LKiS
Ali Hosein Al Hakim. Membela Perempuan, Menakar Feminisme dengan Nalar Agama. 2005. Jakarta: Al Huda. Penerjemah : AH. Sunolo Gembolo.
Ikhwan Fauzi. Perempuan dan Kekuasaan; Menelusuri Hak Politik dan Persoalan Gender. Yogyakarta: Penerbit Amzah
Casino Finder - Mapyro
BalasHapusFind your nearest Casino 안산 출장안마 Finder. Trails. Dedicated lanes. Bicycle-friendly 제주 출장안마 roads. Dirt/unpaved 남원 출장샵 trails. Bicycle-friendly 순천 출장샵 roads. 광주광역 출장마사지 Dirt/unpaved trails.
Best casino bonus codes 2021 | Free spins no deposit
BalasHapusFind a list of the casino bonus codes and promotions for United Kingdom players. Discover bonus codes for casinos with free spins no deposit on bsjeon registration.How kadangpintar many free spins do you receive from the casino? · What are the bonuses for 출장안마 United worrione Kingdom players? · What are the free spins and promotions for United 토토사이트 Kingdom players?